Tangsel Baru Berbasis Budaya
detaktangsel.com OPINI - Seorang teman dari Kota Palembang, yang datang berkunjung ke Kota Tangerang Selatan, merasa takjub atas perkembangan pembangunan kota yang terjadi di wilayah kota termuda dari Provinsi Banten ini. Jauh berbeda dibandingkan dengan lima tahun silam saat ia berkunjung untuk pertma kali.
"Luar biasa perkembangan kota mu, sampai-sampai aku bingung mencari alamat rumahmu," katanya saat baru tiba di rumah saya beberapa hari lalu setelah sebelumnya ia sempat berkeliling ke wilayah Alam Sutera dan Binatro
Ia mengutarakan kekaguman terhadap perkembangan kota yang berdampingan dengan DKI ini. Banyak gedung bertingkat yang baru bermunculan, pusat-pusat perdagangan dan bisnis berkelas nasional bahkan internasional, ada taman dengan aneka pohon- pohon yang ditanam di sepanjang jalan. Ada banyak kawasan perumahan elite berjejer dan terus tumbuh bagai jamur. Tak henti-hentinya kawan tersebut terus memuji langkah- langkah yang dilakukan pemerintah kota, dalam waktu lima tahun saja sudah bisa mengubah wajah dan penampilan hampir selutuh tubuh kota menjadi indah nan cantik.
Namun, di sisi lain, ia juga mengeluahkan ada banyak kemacetan lalu lintas di banyak ruas jalan protokol, penataan tata ruang bagi kawasan perumahan skala sedang dan kecil yang terkonsentrasi di dekat pusat kota hingga menimbulkan penumpukan arus lalu lintas. "Wah, jika saja penataan ruas-ruas jalan lebih baik dan kemacetan bisa terusai, alangkah indahnya kota mu," kata teman.
Selain itu, masih ada yang mengganjal dari pikirannya ketika melihat dan merasakan seluruh nuansa bangunan kota yang ada. Ini berbeda sekali dengan kota tempat kelahirannya, Palembang, dan kota-kota lain yang pernah ia kunjungi, baik di wilayah peloksok Nisantara maupun di luar negeri.
"Aku tak melihat apalagi merasakan ada identitas kota ini. Kalau aku enggak kenal kau dan tahu kau tinggal di Tangsel, aku enggak merasakan ini di Tangsel. Tadi aku masuk ke Mall di Alam Sutera dan Mall ITC BSD, aku bingung apakah ini di Kota Tangsel apa di Bangkok, atau di Kualalumpur. Di kota mu banyak nama asing, mall dan kawasan permukiman bernuansa asing. Nuansa Nusantara dan ruh Tangselnya gak terasa bro!?," seloroh temanku sambill mengernyitkan dahinya setelah itu menyeruput secangkir kopi hangat yang kesediakan. Sebuah penilaian yang menyesakkan dadaku.
Menurutnya, kota-kota lain yang pernah ia kunjungi, rata- rata memiliki identitas dan ruh local-nya tampak terasa. Misalnya, Kota Bandung yang bernuansa wisata belanja, kuliner, dan kreati dengan sentuhan khas sunda modern, cukup kental. Kota Palembang yang terasa dan terkenal sebagai kota empek-empek. Kota Sibolga dengan nuasa laut dan penghasil ikan. Kota Bogor dengan kesejukan kebun raya dan rasa pasundan. Begitu juga dengan hampir semua kota di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang masih mempertahankan arsitektur khas joglo Jawa di hampir semua jenis dan ukuran bangunan, terutama bangunan milik public.
"Lalu Kota Tangsel identitass dan ruhnya apa?" tanyanya dengan suara lantang. Ini pertanaayan yang membuat saya harus berfikir keras untuk bisa menjawabnya.
Jika dua atau tiga tahun lalu, pertanyaan tersebut masih mudah saya bisa jawab, ketika ada tugu air mancur di depan Mall BSD City. Itu sebuah tugu yang menurut saya saat itu menjadi cirri kota. Ada di tengah- tengah pusat kota dan di atasnya ada lambang bunga ( sepertinya dari jenis bunga anggrek). Mungkin penggagas pembangunan tugu (kalau gak salah Ciputera, pendiri BSD), kala itu berfikir lambang bunga cukup pas dipasang di atas tugu, karena jauh sebelum Kota Tangsel berdiri, di wilayah Tangerang bagian Selatan ini ada banyak petani bunga yang mengembangkan berbagai jenis varites anggrek dan terkenal se-antereo nasional, bahkan internasional.
Saya sendiri pernah menyampaikan dalam banyak forum dan tulisan agar anggrek ini menjadi icon bagi Kota Tangsel. Beberapa kali saya mengusulkan kepada pemerintah daerah lewat dinas terkait agar pemerintah membangun Pusat Anggrek Tangsel seperti halnya yang dilakukan Negara penghasil anggrek terbesar di dunia, Thailand, yang membangun pusat anggrek dengan dukungan tehnologi dan jaringan pasar yang luas.
Tapi, para pemangku kebiijakan dan penggede kota mungkin memiliki cara pandang lain tentang sebuah icon. Tugu "anggrek" yang ada air mancurnya itu kini sudah "lenyap," (atau dilenyapkan) kurang lebih dua tahun lalu, berganti menjadi ruas jalan lurus hingga tak ada lagi pamandangan khas di sekitar itu. Soal "Pusat Anggrek Tangsel," mungkin juga dianggap tidak penting sehingga tak ada respon dan kemudian para petani mulai malas mengembangkan varieties anggrek berkualitas, jumlah petani anggrek yang ada makin berkurang dan luas kebun anggreknya pun semakin menyempit.
Sebelumnya pernah ada gagasan untuk membangun icon Tangsel dengan membuat "Patung Sultan Hasanuddin" di bundaran Pamulang, persis di depan Universitas Pamulang. Tetapi, entah kenapa, banyak ditentang oleh para "penggede" Tangsel hingga rencana membuat patung tersebut gagal total dan tugu di bundaran yang sudah disediakan sekarang tanpa lambang apapun, kosong tanpa makna sama sekali.
Apakah masih relevan dan penting Kota Tangsel membuat atau memiliki sebuah icon? Ya tergantung dari mana cara melihatnya. Mungkin kalau dari sisi para penguasa, politisi, dan pengusaha yang masih berorientasi hanya pada "laba" (keuntungan financial), akan berkata, "ah buat apa?" Masih banyak yang harus dipikirkan tentang proyek-proyek skala besar yang lebih bisa mendatangkan investor dan laba. Jadi, soal icon itu mungkin belum terpikirkan atau tak perlu dipikirkan lagi.
Tapi, bagi mereka yang melihat pembangunan kota ini sebagai realisasi dan artikulasi dari pembangunan peradaban umat manusia, maka hal-hal yang terkait dengan upaya membangun rasa kebanggaan dan rasa memiliki bersama atas kota, mempunyai icon menjadi penting. Sebuah icon kota memang hanya sebuah ciri –identitas, tetapi ia bisa menggambarkan tentang vision, cita-cita luhur, nilai, dan mimpi bersama pemerintah dan semua warga kota.
Pembangunan kota bukanlah perkara sekedar meletakan beton-benton dan aspal di tengah jalan, atau sekedar menanjabkan kumpulan tiang- tiang pancang ke dasar bumi kota dengan mengurug lahan- lahan kosong-produktif, atau sekadar mendirikan pusat pusat kumpulan orang hingga situasi kota menjadi ramai,hiruk- pikuk, dan macet tanpa arah.
Memimpin pembangunan kota seharus berarti membangun sebuah kesadaran baru warga, mengakomodasi nilai local, memediasi artikulasi budaya yang masuk dan berkembang, mengorganize segala perbedaan latar belakang social-ekonomi, ras, politik, dan kebudayaan.
Potensi dan energy keanekaragam perbedaan warga kemudian diakumulasi, dirumuskan menjadi modal dasar membangun tatanan nilai dan moral baru bagi warga kota menuju pembangunan kota yang benar benar beradab (menghargai kearifan local dan nilai- nilai budaya yang tersedia, memaksimalkan pelayanan public, membangun tolerasi dalam banyak perbedaan, menghargai kualitas, integritas, kejujuran dan keadilan).
Menurut saya, di era kedua kepemimpinan Ibu Airin Diami Rachmy, walikota Tangsel, perlu dicanangkan pembangunan Kota Tangsel Baru yang berbasis budaya dimana walikota dan para kepala dinas terkait sampai unit permerintah terkecil, memiliki paradigma dan manidset baru. yakni membangun kota dengan semangat dan tujuan nilai di atas.
Apakah belum atau tiadanya icon Tangsel hingga saat ini itu pertanda atau mencirikan bahwa proses pembangunan Kota Tangsel selama ini berjalan dengan kecenderungan sebatas mengejar "laba" dan belum berorientasi pada nilai dan peradaban? Atau mungkin karena masih sibuk menjejar "laba" hingga kehabisan waktu dan gagap mencari arah, visi dan akhirnya kesulitan merumuskan identitas kota sendiri? Walahhu alam bi showab.