Berdiri Di Kaki Sendiri
detaktangsel.com- EDITORIAL, Situasi berubah sedemikian cepat. Sehingga hidup ini berpacu dengan waktu. Seolah manusia ditabukan lengah, apalagi bermalas-malasan menghadapi untuk menatap masa depan.
Krisis global telah mengubah segala tatanan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Rakyat, paling tidak, dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam menghadapi tantangan global.
Filosofi Jawa 'alon-alon asal kelakon' tidak berfungsi lagi jadi pedoman hidup yang tengah diterjang badai krisis keuangan dunia ini. Negara sekelas Amerika Serikat saja tumbang dan kelambakan akibat merasakan dampak tsunami keuangan ini. Apalagi rakyat Indonesia yang notabene hidup dalam ekonomi pas-pasan.
Itulah kenyataan yang terjadi dalam keseharian hidup masyarakat bawah di sejumlah wilayah Banten umumnya, Tangsel khususnya. Mereka serba sulit hendak menghindari terjangan badai kehidupan.
Harga bahan kebutuhan pokok (sembako) naik. Sedangkan pendapatan yang diterima jauh dari mencukupi. Belum mimpi lulus seleksi pegawai negeri sipil (CPNS) pun gagal.
Sungguh sangat menyesakkan. Napas yang kembang kempis makin membuat rakyat kecil mencari akal untuk bertahan hidup. Terkadang memang dapat rezeki, tapi masih belum mencukupi kebutuhan. Terkadang pula rezeki itu datang.
Seruan moral yang pernah disampaikan almarhum Soeharto ketika berkuasa: " kita harus mengikat pinggang yang erat" sangat bermakna ketika menghadapi krisis keuangan saat ini. Juga sangat mengandung pemahaman sangat dalam.
Falsafah 'milik' Soeharto itu perlu dibudayakan kembali dan menjadi alat kontrol. Sehingga kita memiliki daya tahan dalam menghadapi krisis ekonomi. Tidak memudahkan kita menjadi anak bangsa yang cenggeng dan mudah menadahkan tangan minta-minta kepada 'donatur' untuk sekadar memenuhi kebutuhan dalam hidup.
Juga, tidak berteriak-teriak kencang menunjukkan kita panik karena tidak mampu mengatisipasi keadaan. Berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) adalah solusi paling tepat sebagai bentuk pertahanan diri. Makanya, semua potensi kekayaan kita, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, diberdayagunakan semaksimal mungkin.
Budaya saling menyalahkan disingkirkan jauh-jauh. Cakar-cakaran atau gontok-gontokan tidak perlu lagi dibudayakan dalam pergaulan kemanusiaan.
Sebaliknya saling mawas diri dan mengingatkan harus menjadi budaya dalam kehidupan kita. Karena konstelasi interaksi sosial antara pemimpin dan rakyat tidak kondusif makin membuat keruh situasi kebatinan bangsa.
Kita tidak sendirian menghadapi masalah dunia. Kendati demikian, kita harus sendiri yang menyelesaikan masalah tersebut, bukan atas kebaikan uluran tangan asing.
Itu namanya bukan pasrah dan tabah menghadapi masalah. Namun, mengemis dan meminta belas kasihan kepada pihak lain.
Tidak salahnya jika kita semua mulai mengembangkan budaya ikat pinggang dan berdiri di atas kaki sendiri ketimbang merengek-rengek minta belas kasihan pihak asing. Sebaliknya tunjukkan bahwa kita bisa menyelamatkan negeri ini dari keterpurukan.
Dalam antusiasme terhadap kedaulatan rakyat – pesta demokrasi 20134, kita seringkali lupa. Bahwa kedaulatan hanya benar-benar demokratis bila mengakui batas-batas yang diidentifikasi berdasarkan pada penghormatan kita terhadap pluralitas kepentingan dan identitas dalam masyarakat.
Demokrasi sebagai sistem dan budaya politik untuk menghormati keadilan, kesetaraan, kejujuran, dan melindungi pluralitas masyarakat. Di samping itu, secara damai menyinergikan keumuman dan perbedaan lintas masyarakat.
Dasar pembenaran deontologis pada khususnya merupakan ciri dan layak bagi sistem hukum. Sedangkan dasar pembenaran teleogis pada khususnya, ciri dan layak bagi sistem politik. Argumentasi deontologis menilai suatu tindakan atas sifat hakikat dari tindakan yang bersangkutan. Namun, argumentasi teleogis menilai suatu tindakan atas dasar konsekuensi tindakan tersebut.
Apakah mendatangkan kebahagiaan atau menimbulkan penderitaan? Benar salahnya tindakan ditentukan oleh konsekuensi yang ditimbulkannya, tanpa memandang sifat hakikat yang semestinya ada pada tindakan itu.
Adapun sasaran utama sistem politik ialah memuaskan kepentingan kolektif dan perorangan. Meskipun sistem hukum dan sistem politik dapat dibedakan, dalan bebagai hal sering bertumpang tindih.
Makanya, para elit tidak seharusnya tidak mengadakan perselingkuhan politik dalam melahirkan pemimpin dalam bentuk koalisi. Sehingga sang pemimpin tidak menjelma menjadi budak kekuasaan. (red)