Pelaksanaan PPDB di Tangsel Ditemukan Pungli dan Amburadul
detaktangsel.com Pamulang-Koalisi Masyarakat Peduli Pendidikan Tangerang (KMPPT) yang terdiri dari Tangerang Public Transparency Watch (TRUTH), Korps-HMI Wati Komisariat Pamulang, Gerakan Mahasiswa Anti Korupsi (GEMA AKSI), Komunitas Peduli Bangsaku dan Ikatan Alumni Sekolah Antikorupsi Tangerang menemukan hasil pelaksanaan PPDB di Kota Tangsel amburadul.
Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2017 terdapat perbedaan pada tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya perubahan regulasi yang sebelumnya merujuk kepada Peraturan Bersama Antara Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2/VII/2014/nomor 7 tahun 2014 beralih ke Permendikbud No. 17 Tahun 2017.
Selain itu kewenangan SMA dan SMK dilimpahkan ke Provinsi sebagaimana amanat UU No. 23 tahun 2014, sehingga PPDB SMA dan SMK dilaksanakan oleh Provinsi Banten. Dalam catatan kami terdapat empat poin perbedaan yang menjadi sorotan, yaitu batasan usia, sistem zonasi, indikator penilaian, dan pembagian kuota.
Di Kota Tangsel dalam pelaksanaan PPDB menerapkan pendaftaran offline pada SD sekaligus melimpahkan proses seleksinya kepada sekolah masing-masing, sedangkan SMP menggunakan online yang terpusat. Proses seleksi PPDB telah berakhir pada setiap jenjang pendidikan. Namun meninggalkan beberapa masalah.
"Seperti PPDB SD masih ada pungli. Temuan kami pada SDN Pondok Benda dan SDN Pondok Aren 4, bahwa sekolah meminta pembayaran dengan dalih sumbangan kepada wali murid yang anaknya belum berusia 7 tahun, sebagai persyaratan agar anak tersebut bisa diterima sekolah," katanya Juru Bicara KMPPT Oki Anda Sawaludin dalam keteragan pers yang diterima detaktangsel.com pada Kamis, (13/7/2017).
Padahal dalam Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 pasal 5, ayat 1 menyatakan persyaratan calon peserta didik baru kelas 1 (satu) SD atau bentuk lain yang sederajat: calon peserta didik baru yang berusia 7 (tujuh) tahun wajib diterima sebagai peserta didik; dan calon peserta didik baru berusia paling rendah 6 (enam) tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan.
"Ada seorang calon murid di SDN Pondok Benda yang telah berusia lebih dari 6 tahun namun kurang dari 7 tahun, sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 point b. Namun sekolah menyatakan tidak dapat menerimannya, apabila ingin diterima maka harus membayar sebesar satu juta rupiah. Kemudian sekolah juga menyatakan bahwa dana BOS tidak mengakomodir pembiayaan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) murid yang belum berusia 7 tahun sehingga pembiayaan selama pendidikan ditanggung sendiri oleh wali murid," terangnya.
Kata dia, dalam regulasi tersebut bahwa anak tersebut seharusnya dapat diterima dengan rekomendasi tertulis dari ahli psikologi atau dewan guru (ayat 2 dan 3) dan tidak ada kewajiban melakukan pembayaran.
"Kami menganggap bahwa alasan diatas dibuat mengada-ada tanpa ada landasan regulasi yang jelas maka pembayaran tersebut kami duga sebagai bentuk dari pungutan liar," ujarnya.