Instruksi Bupati Keburu Nafsu
detaktangsel.com- EDITORIAL, Kasus peredaran foto syur yang melibatkan seorang siswi SMK di Anyer terkesan menjadi lahan pertarungan kepentingan. Mereka yang terlibat pertarungan ini adalah Koalisi Faksi Kepala SMK, Bupati Anyer, dan Dindik lawan koalisi Faksi orangtua siswa dan Komisi Perlindungan Anak.
Bupati telah menginstruksikan Dindik untuk memecat atau mengeluarkan siswi dari tempat sekolah. Turunan instruksi Bupati itu sudah barang tentu diteruskan ke Kepala SMK. Di sisi lain, orangtua korban beserta ngotot agar siswi tidak dikeluarkan dari sekolah.
Kedua faksi saling mempertahankan kepentingan masing-masing. Benturan kepentingan ini tentu akan menimbulkan dampak psikologis sangat dalam. Penyelesaikan kasus ini bak makan buah simalakama, di makan bapak mati dan tidak dimakan ibu mati.
Nah lho? Sulit dan berat upaya menyelesaikan kasus foto syur tersebut. Bila dibedah kasus ini memang tidak sertamerta siswi SMK itu dipersalahkan. Posisinya siswi ini adalah korban. Di sisi lain, Bupati Anyer keburu nafsu dan arogan mengeluarkan keputusan untuk memerintahkan Dindik memecat korban dari SMK bersangkutan.
Orangtua korban jelas bereaksi keras menyikapi keputusan pimpinan daerah tersebut. Keluarga korban makin berani menunjukkan sikap perlawanan menyusul dukungan moral dan politis dari Komisi Perlindungan Anak.
Sikap kedua belah pihak atau faksi tidak bisa dinilai salah dan benar. Juga tidak bisa dianggap hanya gertak sambal. Hal ini tidak akan terjadi bila kedua belah pihak duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan dari hati ke hati.
Pihak keluarga korban tidak beraksi atau mengadakan perlawanan bila keputusan Bupati Anyer tidak bernada memvonis terhadap siswi. Komisi Perlindungan Anak melibatkan diri lantaran berkepentingan untuk menyelamatkan masa depan korban.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Pertarungan kepentingan faksi Bupati Anyer dan keluarga korban terus bergulir. Malah, keluarga korban pun berancang-ancang membawa kasus ini ke ranah hukum. Apa tuntutannya belum diungkapkan secara gamblang.
Memang menyelesaikan kasus ini tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Padahal kasus ini tidak akan berlarut-larut bila kedua faksi mempunyai cara pandang yang sama dalam menyikap peritiwa memalukan ini.
Bila Bupati Anyer mempunyai pola penanganan yang cerdas, tidak seharusnya keburu nafsu mengeluarkan instruksi tersebut. Kalau dasar keputusan itu analoginya adalah memalukan. Pertanyaannya, siapa di antara keluarga, sekolah, dan Bupati Anyer yang merasa malu atas kejadian ini.
Berangkat dari analogi ini, seharusnya Bupati Anyer memerintahkan aparat keamanan memburu pelaku yang mengunduh foto syur tersebut. Karena pelaku adalah 'biang keladi' kasus tersebut. Bupati Anyer tidak sertamerta karena berkuasa lalu memerintahkan Dindik untuk merekomendasi korban agar dikeluarkan dari sekolah.
Sejatinya siswi sebagai korban tidak ingin foto berbugil ria untuk dijadikan konsumsi tontonan di jejaring sosial facebook. Apalagi direncanakan sebelumnya. Jelas itu tidak mungkin.
Sebandel-bandel korban, bisa jadi, korban bersedia foto bugil akibat tidak sadar karena pengaruh obat atau yang lain misalnya. Dalam konteks ini, Bupati Anyer harus memerintahkan aparat kepolisian untuk menangkap pengunduh foto syur tersebut. Dengan demikian, Bupati Anyer baru menentukan langkah cerdas.
Selama pengunduh foto syur bebas dari jeratan hukum, maka akan muncul pengunduh lain untuk korban yang lain pula. Dalam perkara ini posisi Kepala SMK sangat dilematis. Tidak dilaksanakan, itu perintah langsung dari Dindik dan Bupati Anyer. Sebaliknya Kepala SMK akan menghadapi masalah hukum bila mengeluarkan korban dari sekolah.
Semua pihak, baik Faksi Bupati Anyer maupun Faksi Keluarga Korban, sama-sama tidak keburu nafsu melangkah. Sama-sama memandang masalah ini dengan logika yang cerdas. Kalau tidak, keputusan apapun akan sesatkan pikiran masing-masing pihak.