Jiwa Rakyat Terpenjara
detaktangsel.com- EDITORIAL, Sungguh miris! Kalimat pendek ini mungkin berlebihanan bila dijadikan satu asumsi tentang kondisi nyata kehidupan masyarakat kita, baik di pusat perkotaan maupun pinggiran kota.
Mereka sama-sama menghadapi masalah serupa secara psikologis sosial. Seolah mereka hidup segan, mati pun tidak mau. Frustrasi, kira-kira demikian. Betapa tidak, pemberitaan yang ditayangkan sejumlah stasiun televisi menyajikan rekaman gambar yang mengindikasikan karut marut tatanan sosial di masyarakat.
Bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar langka. Lantas, bentrok antarwarga silih berganti terjadi di sejumlah daerah di Tanah Air. Bencana alam banjir dan tanah longsor pun ikut-ikutan mewarnai.
Juga tidak pernah tuntas dan selalu menjadi perdebatan antarelit politik soal kasus korupsi Bank Century, kasus Hambalang, kasus grasi pidana narkoba, anggota DPR korup, dan sebagainya. Lalu, Kapolres disandera penambang liar, kalangan buruh ngotot kenaikan upah, serta korban lumpur Lapindo kembali menggeliat.
Pedagang daging mogok mengais rejeki. Dua anggota Polri dibacok, guru ditembak perampok, Mahkamah Agung digoyang isu suap, dan almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kembali dihujat elit Partai Demokrat, dan banyak masalah lain yang bermunculan di permukaan umum.
Sementara Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo 'go must go on' safari politik kunjungi warganya yang jadi korban kebanjiran. Tebaran senyuman, lambaikan tangan.
Masyarakat Indonesia benar-benar terbalut kekusutan, kegalauan, dan keruwetan. Karena harapan yang diimpikan tidak pernah jadi kenyataan. Justru kenyataan yang ada, antara lain jiwanya terlilit perasaan frustrasi secara sosial.
Di tengah krisis ekonomi masih mencekik leher, tanpa ada kabar, BBM alami kelangkaan. Ketika sedang melamun dan mimpi, tiba-tiba banjir menyerang rumahnya.
Di sisi lain, keterpenjaraan jiwa ternyata menjadi 'wabah' dalam kehidupan masyarakat, termasuk elit politik dan penguasa. Jiwa rakyat terpenjara lantaran krisis ekonomi. Sedang jiwa elit politik maupun penguasa terpenjara akibat perilakunya.
Jadi tidak benar jika kondisi kejiwaan dan sosial masyarakat mengalami frustrasi karena alam tidak bersahabat. Ada kemungkinan akibat keadilan sosial makin pudar. Nilai nilai persatuan hanya mozaik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ada kemungkinan penghuni Nusantara tidak karut marut bila perilaku antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif lakukan 'genjata senjata' untuk menyingkirkan kepentingannya masing-masing. Dikhawatirkan kondisi masyarakat yang sedang dibelenggu perasaan frustrasi sosial ini dibiarkan begitu saja, tidak tertutup kemungkinan akan melahirkan masalah sosial lainnya.