Surabaya Biru Jilid II
detaktangsel.com TANGSEL - Belum genap satu minggu ini, dunia mahasiswa dihebohkan oleh peristiwa pemecatan seorang mahasiswa salah satu Universitas di Sumatera Utara. Adalah Tuah Aulia Fuadi, mahasiswa semester V Fakultas Syariah yang pendapatnya dinilai melecehkan al Quran dan Nabi Muhammad. Peristiwa itu berawal dari celoteh Tuah di akun facebooknya.
"Dahulu di zaman rasul, al Quran itu hadir dalam wajah jelek (tampil di kulit kambing) udah lah kepalanya botak (tak berbaris) beraroma busuk pula lagi itu (yang pastinya bau bangkailah). Dahulu al Quran itu memang parah, kehadirannya primitif, beda dengan sekarang. Al Quran yang sekarang sudah maju secara profresif. Ia tampil dalam wajah tampan. (di buku)." Tulis Tuah di beranda.
"Penafsiran itu hanya rasul dan itu pun satu. Sekarang ia sudah mati jadi penafsir tunggal itu sudah ga ada lagi. Yang sebaiknya al Quran itu direvisi saja. Minimal kembalikan saja urusan itu ke Negara, biar negara saja yang merelevansikannya sesuai dengan kebutuhan zaman dan peradaban umat yang lebih progresif, modernis, teknologis dan teknogratis." Lanjut Tuah di kronologi berikutnya.
Pandangan Tuah tersebut menuai kecaman dari pihak kampus. Tak ayal, Tuah dipaksa keluar dari bangku perkuliahan. Pendapatnya yang "liar" itu dianggap melecehkan agama sekaligus mencemarkan nama baik kampus.
Peristiwa ini mengingatkan kita pada kejadian tahun lalu di Universitas Islam Negeri Surabaya. Sekelompok mahasiswa beratribut biru memampang tulisan "Tuhan Membusuk" saat sedang menjalankan kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik (OSPEK). Kejadian ini sempat menyulut api emosi para pemuka agama, khususnya di Surabaya.
Namun tak lama kemudian, pihak kampus mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan maksud dari pernyataan "Tuhan Membusuk" secara ilmiah. Tak lupa, pihak kampus juga memohon maaf apabila pernyataan tersebut dianggap tabu dan sarat pelecehan terhadap agama bagi masyarakat awam yang mendengarkannya.
Pun demikian, apa yang dilakukan oleh Tuah. Bagi kalangan terdidik, pendapat Tuah merupakan kesimpulan sederhana dari hasil bacaan dan diskusinya yang sebenarnya belum tuntas. Sehingga masih dianggap wajar. Hanya perlu menambah catatan kecil, yakni Tuah harus belajar lebih dalam lagi.
Sayangnya, Tuah menyampaikan pendapatnya di akun facebook yang sifatnya umum. Banyak masyarakat awam di dalamya. Bagi masyarakat awam, pernyataan Tuah justru dianggap sesat dan menyesatkan. Maka wajar, jika Tuah harus dikecam dan dihukum.
Sejatinya, kampus merupakan wahana berdemokrasi dalam berfikir dan berekspresi. Tiada lahan di dunia ini yang mampu menerima bibit-bibit perbedaan seluas di kampus. Oleh karena itu, setiap bentuk pendapat dan ekspresi harus dilindungi demi keberlangsungan dinamika intelektual. Jika "keharusan" sudah masuk di wilayah pemikiran, maka sudah waktunya dunia untuk tutup buku.
Mungkin sah-sah saja Tuah dianggap salah. Tapi pertanyaannya, apakah dengan mendepak Tuah dari kampus, lantas Tuah akan kembali ke jalan yang benar ? Tentu tidak.
Keberanian Tuah dalam mengungkapkan pendapatnya harus diakui sebagai modal kekayaan intelektual. Mungkin kesalahan Tuah adalah, tidak bisa membedakan mana konsumsi bagi dirinya dan mana konsumsi bagi masyarakat awan. Itu saja.
Maka terkesan "lebay", jika kampus harus mendepak Tuah. Seharusnya, kemunculan Tuah menjadi koreksi bagi pihak kampus untuk melakukan pendampingan terhadap mahasiswa yang masih belum tuntas dalam menerima ilmu.
By : Muflih Hidayat*
*Penulis adalah Penggiat Pojok Inspirasi Ushuluddin sekaligus Ketua Umum HMI KOMFUF Cabang Ciputat