Hari Kesehatan Jiwa
detaktangsel.comEDITORIAL - Ternyata, 10 Oktober, merupakan Hari Kesehatan Jiwa. Peringatan ini tidak bergaung sebagaimana hari-hari peringatan yang lain. Namun, paling tidak, kita mengapresiasi.
Setiap manusia dalam sejarah hidup mengalami depresi. Meski tingkat ringan sampai sedang, paling tidak tiga kali. Depresi adalah gangguan mental yang bisa terjadi pada semua tingkat usia.
Konon, berdasarkan penelitian wanita lebih rentan terkena depresi dengan risiko 2:1 dengan laki-laki. Karena wanita lebih banyak menanggung beban keluarga terutama sosial ekonomi untuk memelihara anak-anaknya.
Tidak bisa dipungkiri. Bahwa depresi adalah gangguan mental paling banyak terjadi di masyarakat. Depresi bisa terjadi secara individual maupun secara massal dalam jumlah besar pada populasi-populasi di masyarakat.
Secara psikodinamik depresi terjadi karena kehilangan obyek yang dicintai. Cedera ego, lalu agresivitas yang dibalik pada diri sendiri yang berakibat cenderung merusak diri. Secara umum depresi bisa diartikan 'sedih yang berkepanjangan'.
Pada depresi selalu ada kekakuan adaptasi, cedera ego, dan suatu distress atau penderitaan subyektif. Hal ini ditandai perasaan sedih yang berat, putus asa, dan tak bisa merasakan kegembiraan bersama orang-orang lain. Bahkan, kehilangan minat dan rasa senang pada semua kegiatan dan aktivitas.
Ternyata juga masalah kesehatan jiwa dan gangguan jiwa belum dianggap penting untuk dipikirkan apalagi ditanggulangi. Gaya hidup sehat menjadi penting bagi manusia. Karenanya, peringatan Hari Kesehatan Jiwa Se-Dunia perlu mendapat apresiasi seluas luas di setiap lapisan masyarakat.
Orang mudah marah atau emosional bisa dikategorikan dan diindikasikan mengalami kesehatan jiwa. Pada Sidang Paripurna DPR misalnya, kalangan anggota dewan menunjukkan perilaku tidak terhormat. Bertingkah laku yang tidak intelektual. Penuh emosional, setengah marah.
Begitu di kalangan dunia pendidikan, terutama siswa. Cenderung terganggu kesehatan jiwanya. Konon, dahulu kalai, seorang siswa takut menginjak bayangan guru. Namun, sekarang perilaku anak didik berubah total. Mereka tidak menghormati dan menghargai etika kehidupan. Tidak hanya mudah melakukan tawuran, guru pun tidak dihormati.
Apakah hal ini akibat sistem pendidikan berbasis liberal? Apakah kita semua tidak memaknai nilai-nilai kearifan lokal? Kita patut merenung dan mengevaluasi diri, adakah kesalahan yang mengakibatkan kesehatan jiwa terganggu.