Logika Fakta-Fiksi Dalam Karya Sastra
Detaktangsel.com, OPINI - Berbicara soal judul di atas, saya rasa inilah hakekat sastra yang saya sebut dalam tulisan saya sebelumnya sebagai dunia permainan itu: dunia yang bisa memutar "fiksi" menjadi "fakta". Sehingga terbuka untuk membuat pengertian dan hakekat isi sastra baru.
Semisal dalam dunia "novel fiksi" yang mewujud dalam aksara, bergerak menjadi dunia "novel fakta" yang mewujud dalam manusia. Sehingga pengertian novel tidak hanya aksara yang mewujud dlm bentuk buku, tapi aksara yang mengeram dlm tubuh manusia. Novel bukan lagi buku yang diam. Tapi novel adl manusia yang berjalan.
Tokoh "novel fiksi" dlm buku kini bergerak ke dalam tokoh "novel fakta" dlm manusia. Karenanya sang pengarang novel bukan lagi sang pengarang, tapi sudah menjadi novel itu sendiri. "Novel yg berjalan." Tempat tubuh terbelah mendapatkan dua dunianya: dunia dirinya di dalamm novel, dunia dirinya di dalam manusia konkret-fiktif sehari-hari.
Dan untuk mencapai tingkatan tersebut, para kritikus sastra menyarankan agar sebaiknya kembali kepada kemurnian hati, yaitu kembali kepada teks, dan bukan semata-mata ingin menunjukan ke publik, "inilah saya". Karena (Inilah Saya, atau Inilah karya Saya), adl sesuatu yg berimpit dan niscaya. Karena "saya" berada dlm "karya saya". Dan saya yg sedang melakukan politik sastra, bisa terjadi, atau tak bisa dilepaskan dari "inilah karya saya" yg semakna dng "inilah saya". "Here I Am! Mau apa lo! (kira-kira seperti itu lah).
Kenyataan seperti ini perna dimaknai, Fadillah Sutan Kayo sebagai "pengarang atau kritikus" yang tidak rela melepaskan kekuasaan atas makna karya sastra kepada pembaca. Padahal masyarakat sudah bergerak ke arah multikultur. Karena itu menurutnya, telah terjadi perebutan bahkan tabrakan kekuasaan atas makna karya sastra.
Terus apakah ada yang salah ketika ada penyair yang mengabaikan teks? Saya jawab: tidak ada yang salah. Karena saya juga punya cara tersendiri untuk memahami teks itu sendiri. Saya ingin menjelaskan bahwa puisi bukanlah semata soal bentuk, suatu cara menyusun kata berantai kata agar terkesan indah di baca oleh pemula. Tapi puisi adalah soal makna dari kata-kata yang ditimbulkan dari cara menyusun puisi. Tapi bentuk dan isi sebagaimana di dlm genre sastra lainnya adl soal roh dan badanya. Atau semacam sperma dengan indung telurnya.
Karena itu pembacaan saya terhadap puisi, tidak terutama di tujukan kepada kehendak sang penyair untuk keluar dari sebuah tradisi penulisan puisi, baik bentuk maupun temanya. Kalau saya menemukan bentuk dan tema puisi yang oposit, maka itulah saat di mana sy seolah melihat sebuah pagi yang lain, dari matahari yang lain. Tapi tetap : pagi dan matahari yang lain itu, bukanlah datang dari bentuk dan isi puisi, tapi dari makna yang di timbulkan oleh totalitas puisi itu sendiri.
Begitulah pendapatku menyikapi teriakan kritikus penyair agar kembali ke teks...biar apa? Biar pembaca dpt menyimak bacaan puisi itu dan memahami kandungan tulisannya secara utuh..Bukan melihat siapa yang menulisnya atau apa yang ditulisnya itu indah dibacanya. Apalagi buru-buru memberi komentar padahal tak memiliki pemahaman apa-apa soal isi teks.
Wallahu 'alam Bishawab
Semoga Manfaat
Padepokan Roemah Boemi Pamoelang
20 Juli 2020
Oleh: Agam Pamungkas Lubah