Praktik Monopoli Kelola LKS
detaktangsel.com- Orangtua wali murid pernah mengeluhkan adanya praktik monopoli di lingkungan Dinas Pendidikan Pemkot Tangsel. Tak kepalang tanggung, kebetulan orangtua walimurid berasal dari keluarga pas-pasan. Bisa menyantap makanan 3 piring sehari, baginya adalah suatu barokah dan nikmat dari Allah SWT.
Potret 'kemiskinan' ini masih mewarnai kehidupan masyarakat di seluruh penjuru wilayah Tangsel. Tak terhitung jumlahnya. Bisa jadi keluhan senapas pun soal biaya pendidikan tinggi pun tidak terhitung.
Tidak mengada-ada bila boleh disebut, ratusan atau ribuan orangtua wali murid mengeluhkan hal yang senapas. Boleh dikatakan keluhan berjamaahlah. Namun, sayangnya keluhan ini nyaris tidak pernah didengar pejabat terkait di lingkungan Dinas Pendidikan.
Asal muasal keluhan ini berserakan di halaman sekolah masing-masing anak mereka. Rata-rata anak maupun orangtua wali murid sangat keberatan atas perdagangan lembar kerja siswa (LKS) di lingkungan sekolah dasar sampai menengah atas. LKS ini dibandrol dengan harga ratusan ribu rupiah.
Mungkin, bagi orangtua wali murid kelas papan atas, keluarkan biaya sebesar ratusan rupiah tidak ada masalah alias tidak keberatan. Beda dengan orangtua wali murid yang isi dompetnya pas-pasan. Tentu sangat keberatan, karena ada kebutuhan hidup lainnya yang harus dipenuhi.
Yang sangat mengherankan, kenapa jajaran sekolah kehilangan sense of crisis terhadap warga masyarakat yang mengeluhkan perdagangan LKS tersebut. Ada kesan para pendidik telah menjadi sosok dhuafa moral dan hati. Kok tega-teganya mereka 'mewajibkan' siswa 'miskin' membeli LKS. Apa tidak ada alternatif lain sebagai penganti LKS yang gratis.
Lho kan ada Bosda? Ternyata kebijakan ini malah menjadi pemicu kalangan pendidik memroduksi LKS dan memperdagangkan melalui pasar sendiri. Inilah awal proses praktik monopoli di lingkungan sekolah mulai berlangsung.
Pelan tapi pasti. Motto ini terpateri dalam jiwa oknum-oknum sekolah untuk membuka praktik monopoli LKS. Sementara Dinas Pendidikan terkesan mendiamkan praktik buruk ini. Pura-pura bisu, tuli, dan buta. Ya lancarlah bisnis ilegal LKS ini menjadi pundi keuangan.
Entah praktik berlangsung sejak kapan. Pastinya, para orangtua wali murid tidak pernah berhenti mengeluhkan perdagangan LKS yang dirasakan mencekik leher mereka itu.
Buram kaca jendela ternyata seburam nasib kawula cilik. Mereka tetap menginginkan anaknya pandai dan cerdas. Namun, harapan itu terganjal oleh harga jual LKS.
Apalagi kondisi sosial ekonomi masyarakat papan bawah ini cenderung menurun ketimbang naik. Artinya penghasilannya mereka sangat di bawah standar. Meski ada dana BOS, lingkungan sekolah tetap mengutip biaya. Banyak cara yang ditempuh pihak sekolah. Sangat tidak mengherankan bila masyarakat menganggap program sekolah gratis hanya isapan jempol.
Sungguh benar pepatah mengatakan bahwa tidak selamanya harapan menjadi kenyataan. Nah kenyataannya saat ini masyarakat dihadapkan pada persoalan 'kewajiban' membeli LKS. Kalau saja pihak kompeten, baik di lingkungan dinas maupun sekolah, buka mata, pasang mata, dan mulutnya tidak 'mewajibkan' beli LKS, sudah barang tentu para orangtua wali murid bisa bernapas lega.
Keluhan-keluhan bernada getir diyakini tidak terdengar lagi. Sayang orang-orang yang dhuafa moral dan hati tetap diam membisu, tuli, dan buta. Tidak bisa dibayangkan! Adakah anak petani mengikuti jejak Soeharto menjadi Presiden. Atau adakah anak rakyat miskin bisa memiliki perusahaan multinasional seperti Chairul Tanjung.
Kiranya, patut dimulai mereformasi pejabat yang doyan mengomersilkan jabatan. Apalagi diberi sanksi moral agar bisa mengetok tular kepada pejabat lainnya. Kita butuh pemimpin yang aspiratif dan akomodatif. (red)