Ujian Demokrasi - Ujian Nasional
detaktangsel.com- EDITORIAL, Usai sudah seluruh warga negara Indonesia menuaikan tugas mulai menggunakan hak politik sebagai pemilih pada Pemilu Legislatif (pileg), Rabu (9/4) lalu. Mereka bersama calon anggota legislatif dan elit partai politik menjoblos pilihan di balik bilik suara.
Pesta demokrasi atau bisa juga dianalogikan sebagai ujian demokrasi ini berlangsung lancar, aman, dan damai. Semua pihak merasa lega dan bersyukur tahapan pemilu ini berlangsung dengan berbagai apresiasi rakyat.
Kalau toh ada coreng-moreng, mungkin proses ujian demokrasi ini masih diwarnai aksi dan praktik pilitik uang. Apakah dalam bentuk pemberian uang atau bentuk lainnya. Yang pasti, praktik politik yang menjijikkan ini dilakukan tim sukses kalangan caleg secara tersistem dan terorganisir.
Tak ada gading yang tidak retak. Tidak ada penyelenggaraan pemilu tanpa praktik politik uang. Meski imbauan dikumandangkan berbagai pihak, sementara pihak yang berkepentingan pun mengimbau tim suksesnya agar hati-hati menyalurkan uang kepada massa calon pemilihnya.
Pertarungan antarkepentingan kelompok Panwaslu dan caleg itu ternyata hanya sekadar ornamen politik yang selalu mewarnai ujian demokrasi di negeri ini. Terkesan belum ada keseriusan dari sebagian warga masyarakat dan caleg memaknai hakikat ujian demokrasi lima tahun sekali itu.
Sungguh potret busuk dan buruk disajikan kalangan elit politik kepada para pemilih, terutama pemilih pemula. Bahwasannya proses ujian demokrasi memang identik dengan kemahalan. Siapa pun caleg yang tidak berduit, keinginannya menjadi wakil rakyat terkubur oleh keserakahan caleg berduit.
Seorang pemilih pemula pun sempat bertanya, beginikah upaya peserta pileg lulus dari ujian demokrasi? Tanpa uang begitu sulit meraih kursi singgasanah dewan.
Pertanyaan pemilih pemula yang notabene masih duduk di bangku sekolah lanjutan atas itu benar adanya. Sebagai generasi muda, ia patut mempertanyakan masalah tersebut. Ada kesan kursi dewan dimiliki tidak melalui ujian demokrasi, melainkan ada transaksi jual beli suara. Pendek kata siapa pun yang memiliki modal melimpah ruah bisa membeli kursi dewan.
Usai menjalani ujian demokrasi, kalangan pemilih pemula akhirnya bertarung menghadapi ujian nasional (UN). Materi UN tidak sama sebangun dengan ujian demokrasi.
Pemilih pemula pun ingin lulus UN. Namun, proses kelulusan tidak bisa ditempuh seperti caleg untuk meraih predikat wakil rakyat dengan menebar uang ke basis massa. Kalau pun melakukan hal serupa tapi tidak sama, kalangan pemilih pemula berusaha mencari dan mendapatkan bocoran jawaban soal UN.
Ya, lagi-lagi uang yang bicara. Uang yang bekuasa. Tradisi buruk yang menyelimuti proses ujian demokrasi dan UN tidak jauh berbeda, ujung-ujungnya duit. Ini potret nyata yang mewarnai masyarakat, rakyat di seluruh Tanah Air saben menghadapi ujian demokrasi atau UN.
Adakah kegelisahan atau kegalauan bagi pelaku demokrasi di negeri ini menghadapi kenyataan buruk ini? Kayaknya sulit dicari jawaban yang absolut. Karena, sebagian besar penghuni negeri ini rata-rata munafik. Satu sisi ingin menegakan sendi-sendi demokrasi. Di sisi lain, mereka pun sangat menghalalkan praktik politik uang.
Kiranya, antara peserta ujian demokrasi dan UN sama-sama berkeinginan kuat untuk menghalalkan segala cara untuk mewujudkan mimpi menyongsong masa depannya. Kalau dipikir-pikir, pemerintah beserta penyenggara, pengawas pemilu, dan aparat penegak umum perlu mematangkan konsep mematikan langkah membersihkan praktik politik uang.
Dunia pendidikan pun agar tanggap untuk memberikan pendidikan politik kepada kalangan siswa agar memahami dan memaknai hakikat ujian demokrasi. Dengan demikian, mereka mampu menyelesaikan berbagai persoalan ketika menghadapi ujian demokrasi maupun UN secara bersih dan bermatabat.