Cak Nur, Sosok Santri Sepanjang Masa
By : Dedy Ibmar **
detaktangsel.com TANGSEL - Presiden Jokowi secara resmi telah mendeklarasikan 22 Oktober 2015 sebagai Hari Santri Nasional. Berbagai perayaan pun diadakan, mulai dari tingkat pondok-pondok pesantren hingga pemerintah pusat dan daerah, Indonesia seketika berubah menjadi pesantren. Hal ini ditandai oleh acara peresmian yang dideklarasikan langsung oleh Presiden Jokowi di Mesjid Istiqlal pada hari itu.
Pembicaraan mengenai "santri" pun seketika langsung menjadi topik yang hangat dikalangan masyarakat. Timbul berbagai analisis mengenai sepak terjang serta pengaruh santri dikancah nasional. Jika berbicara santri yang memiliki pengaruh luas baik dikalangan regional hingga dunia maka salah satu manusia santri terbaik yang pernah dihasilkan pesantren ialah Nurcholis Madjid "Sang Guru Bangsa".
Santri lulusan Gontor Ponorogo yang biasa disapa Cak Nur ini berhasil membuat mata masyarakat terbelalak karena kecerdasan intelektual yang dimilikinya. Orang yang pernah menjadi ketua umum Pengurus Besar Himpunan Mahasisawa Islam (PB HMI) ini pun dianggap sebagai tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia, ia pula lah yang sekaligus berhasil menghidupkan tradisi pergolakan intelektual dalam dunia Islam Indonesia.
Dengan tiga tema besar yakni ke-islaman, keindonesiaan, dan kemodernan, Cak Nur berhasil menampilkan wajah asli agama islam. Wajah itu merupakan kepercayaan dengan tata nilai yang teus menerus disebarkan sehingga lahirlah Islam dalam bentuk yang universal dan menyeluruh atau biasa dikenal dengan Islam rahmatan lil alamin. Islam sebagai agama pembawa kebaikan bagi seluruh alam. Secara sederhana demikianlah Cak Nur, ia berhasil membawa nama santri yang selalu identik dengan sarung, peci dan kitab-kitab fiqh klasik kepada suatu pemikiran yang sangat toleran dan moderat.
Tetapi, disadari atau tidak, wajah santri serta alumnusnya hari ini perlahan berubah. Setelah lulus mereka tidak lagi menerapkan dan mengaktualisasikan gagasan-gagasan keislaman yang diperolehnya dari pesantren. Mirisnya lagi, juga masih tak jarang ditemukan alumnus pesantren yang cendrung kafir-mengkafirkan. Akibatnya, pergolakan intelektual tidak lagi hidup, bahkan kekerasan hingga perang antar agama tak jarang dimotori oleh "bekas santri" itu sendiri. Sederhananya, gerakan pembaharuan yang biasa didengungkan oleh Cak Nur perlahan memudar hilang bersama angin yang berlalu.
Dengan momentum "Hari Santri Nasional" ini seharusnya dijadikan sebagai bahan intropeksi khususnya kalangan santri dan alumnus santri untuk terus menampilkan wajah Islam yang sesungguhnya, yakni Islam sebagai agama rahmatan lil alamin. Dari usaha penetapan hari santri ini pulalah diharapkan lahir sosok cak nur-cak nur yang baru, yaitu sesosok santri yang terus mencari dan menyebar luaskan kebaikan di muka bumi.
*Penulis adalah Aktifis HMI Ciputat, Penggiat Kajian PIUSH serta Alumnus Pon-Pes Dar-el Hikmah Pekanbaru.