Museum Loka Budaya, Tempat Terbaik Belajar Sejarah Papua
Detaktangsel.com JAKARTA - Papua tidak hanya dikenal sebagai provinsi yang kaya akan keanekaragaman flora dan faunanya. Lebih dari itu, provinsi di ujung timur Indonesia ini juga sangat kaya dengan budaya dan adat istiadat yang berbeda satu dengan yang lain.
Di provinsi seluas 312.224 kilometer persegi tersebut, seperti dikutip dari situs resmi Pemerintah Provinsi Papua, www.papua.go.id, terdapat 255 suku. Data Balai Bahasa Papua mengatakan, pada 2019 saja ada 414 bahasa daerah di Bumi Cenderawasih.
Tak hanya itu, karena masing-masing suku tadi memiliki ragam budaya yang berbeda-beda. Karena kondisi geografis Papua terdiri dari gunung dan pantai, tentu saja budaya masyarakat pegunungan akan berbeda dibandingkan dengan mereka yang tinggal di pantai. Untuk mengunjungi seluruh suku tersebut tentu bukan perkara mudah karena kita harus menjelajahi kawasan pantai hingga ke pegunungan yang berpemandangan indah.
Tenang saja, karena keragaman budaya tadi tetap bisa kita nikmati di satu tempat yakni Museum Loka Budaya Papua. Letaknya di dalam kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), Kota Jayapura. Inilah satu-satunya kampus yang mengelola museum sendiri. Gedung museum didominasi warna putih itu tampak megah dan tepat berada 10 meter dari tepi jalan raya Jayapura-Setani di Distrik Abepura. Atau sekitar 1 jam perjalanan darat dari Bandar Udara Internasional Dortheys Hiyo Eluay, Sentani, Kabupaten Jayapura.
Di museum ini kita tak hanya menyaksikan koleksi benda-benda budaya dari suku-suku di Papua. Tetapi sekaligus belajar sejarah panjang Papua. Mengutip laman situs Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, www.kemdikbud.go.id, Museum Loka Budaya didirikan pada 1970 dan diresmikan Direktur Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan Publik, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Ida Bagus Mantra, 1 Oktober 1973.
Semula pengelolaan museum ini berada di bawah Lembaga Antropologi Uncen. Akan tetapi, dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah nomor 5 tahun 1980 tentang Penataan Organisasi Perguruan Tinggi/Institut Negeri, maka lembaga antropologi khususnya bagian penelitian dilebur menjadi Pusat Penelitian Uncen.
Sedangkan Museum Loka Budaya tidak tertampung dalam struktur unit lainnya. Oleh sebab itu, pada 1990 dikeluarkan Surat Keputusan Rektor Tanggal 4 Juli 1990 nomor 1698/PT.23.H/C/1990, yang menjadikan Museum Loka Budaya sebagai Unit Pengelola Teknis (UPT) berada di bawah pengawasan Rektor Uncen. Museum Loka Budaya berdampingan dengan auditorium kampus Uncen.
Koleksi di museum ini berjumlah sekitar 2.500 buah, di mana sebanyak 900 buah di antaranya tersimpan di dalam etalase-etalase. Tidak semuanya dipamerkan karena jumlah koleksi yang terus bertambah setiap tahunnya. Sebagian disimpan karena keterbatasan ruangan museum dan setiap 5-7 tahun koleksi-koleksi itu dirotasi agar semuanya kebagian dipamerkan.
Benda-benda etnografi yang dipamerkan di museum ini seperti peralatan dapur, kemudian alat-alat yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat misalnya peralatan bercocok tanam, berburu dan menangkap ikan, busana dan perhiasan tubuh. Kemudian peralatan perang, benda-benda sakral, alat transportasi, dan alat-alat musik. Ada juga ukiran-ukiran kayu, lukisan kulit kayu, manik-manik. Benda-benda koleksi dibagi dalam lima corak budaya Melanesia.
Karya budaya di sini didominasi warna merah, putih, dan hitam dari bahan-bahan alami seperti tanah liat untuk menghasilkan warna merah. Kemudian kapur barus untuk warna putih dan hitam dari arang kayu. Pewarna alami ini sekaligus berfungsi sebagai pengawet. Benda-benda koleksi museum dibagi menjadi luar dan asli Papua yang berasal dari Dofonsoro Sepik, Saireri, Pantai Selatan, Pegunungan Tengah, dan wilayah Kepala Burung.
Di sini kita juga bisa melihat sebuah tiang kayu sowang dari rumah tradisional orang Sentani, yang diambil dari dalam danau. Tiang tersebut diduga akan dikirim ke Jerman, tetapi berhasil disita dan disimpan di museum ini. Tidak seperti museum pada umumnya yang dingin karena ada mesin pendingin ruangan, di sini justru suhu ruang dibiarkan di atas 30 derajat Celcius. Lantaran sebagian besar koleksinya adalah kayu-kayu tua dan bernilai sejarah tinggi. Suhu dingin akan mempercepat proses pelapukan kayu.
Keberadaan museum ini tak lepas dari upaya Nelson Aldrich Rockefeller, Gubernur New York ke-49 dan Wakil Presiden Amerika Serikat ke-41. Salah satu dari tujuh anaknya, yaitu Michael Clark Rockefeller, sejarawan sekaligus ekonom muda AS ini pernah melakukan sebuah ekspedisi ke Pulau Papua.
Cicit dari orang terkaya di dunia awal abad 20, John Davison Rockefeller Sr ini mengagumi karya-karya patung kayu suku Asmat dan Dani. Michael, lulusan cum laude Harvard University, ini kemudian berangkat ke Papua bersama sahabatnya, Rene Wassing, antropolog asal Belanda pada November 1961. Mereka ingin membuat film dokumenter Dead Bird tentang suku Dani di kawasan pegunungan Lembah Baliem, sambil mengumpulkan karya-karya seni milik Asmat dan Dani.
Pada 17 November 1961, mereka berniat berperahu menuju Laut Arafura melewati Sungai Betsj. Namun perahu tersebut terbalik dan tubuh Michael tak pernah ditemukan. Pemerintah AS mengumumkan secara resmi kematian Michael pada 1964. Nelson melalui Rockefeller Foundation kemudian memberikan hibah pembangunan Museum Loka Budaya di dalam kampus Uncen.
Museum ini selain menyimpan koleksi-koleksi seni Asmat, juga menampung patung-patung hasil buruan Michael dan sahabatnya. Saat ini, Museum Loka Budaya menjadi salah satu tempat yang disarankan oleh Lonely Planet, situs wisata terkemuka di dunia, untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik dan mancanegara ketika berada di Papua. Museum Loka Budaya ini juga bisa dimanfaatkan sebagai tujuan wisata para peserta PON Papua sebelum atau setelah menyelesaikan pertandingan mereka.