Pluralisme Ekonomi Membahayakan NKRI
JAKARTA-Pluralisme bidang ekonomi di Indonesia dinilai belum adil, karena distribusi APBN ke daerah belum merata. “Masalah pluralisme ideologi nanti akan bergeser menjadi pluralisme ekonomi, dan ini akan menjadi bom waktu bagi Indonesia,” kata Ketua umum Ikatan Sarjana NU (ISNU), Ali Masykur Musa dalam diskusi “Mencari Pemimpin Pluralis dan Anti Korupsi” di Jakarta, Selasa,(17/12).
Lihat saja, kata Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencotohkan dari subsidi BBM saja lebih banyak yang menikmatinya di Pulau Jawa, sementara luar jawa malah sedikit. “Dari Rp217 triliun dana BBM bersubsidi sekitar 72%, penikmatnya di Jawa,” ujarnya.
Begitu juga dana transfer daerah yang mencapai Rp590 triliun, sambung Ali, lebih banyak mengalir ke Jawa ketimbang pulau yang lainnya. “Hal yang sama terjadi pada subsidi BBM untuk kalangan petani dan nelayan, dari 50 juta kilo liter, mereka hanya mendapat jatah 2 juta kilo liter,” terangnya.
Ketimpangan pluralisme ekonomi ini, ujar Ali, terlihat juga dari penguasaan ekonomi Indonesia yang hanya dipegang oleh 180 orang kaya. “Data Forbes menyebut 180 orang kaya ini, asetnya sekitar Rp1300 tiliun, yang hampir menyamai APBN,” tegasnya.
Menurut capres konvensi Partai Demokrat ini, pluralisme di Indonesia belum terjawab. Maka siapapun yang akan menjadi presiden yang akan datang harus mampu membaca pluralisme. “Indonesia ini bukan hanya jawa,” ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Tohari mengakui selama postur APBN masih seperti ini, sulit untuk menjadikan pemerataan ekonomi di Indonesia. “Total dana APBN yang mencapai Rp1800 triliun itu, 60% untuk belanja rutin, alias gaji pegawai, jadi mana mungkin bisa merata ke daerah,” terangnya.
Sementara sisa APBN yang mencapai 40% itu, kata Hajriyanto, 20% untuk membiayai berbagai macam sektor, lalu 20% lagi dianggarkan untuk utang. “Jadi ya memang sulit mengharapkan perubahan selama paradigma APBN seperti ini,” tuturnya.
Selain terbentur masalah ekonomi, lanjut Ketua DPP Partai Golkar ini mengakui Indonesia sebagai bangsa yang pluralis. Karena itu, dalam konteks yang luas Indonesia yang majemuk ini membutuhkan pemimpin yang berjiwa pluralis, memahami kemajemukan dengan baik atas Indoensia yang beragam. “Maka aneh, kalau pemimpin bangsa ini tak punya kesadaran tinggi terhadap pluarislme, dan itu bisa mengundang gerakan sparatisme, desintegrasi, dan mengancam NKRI,” tandasnya.
Baik pluralisme suku, agama, ras dan antar golongan. Namun, tantangan yang terbesar bangsa ini adalah melawan korupsi. Menyadari dari APBN yang sangat besar tersebut banyak dikorupsi, sehingga gagal mewujudkan keadilan ekonomi. “Apalagi pluarilsme bangsa ini bersifat komunal, berkelompok, dan tetap koko dengan jati dirinya, sehingga gagal mewujudkan keadilan, bisa mengancam kemajemukan itu sendiri,” pungkasnya. **cea