Berjihadlah Untuk Rakyat
detaktangsel.com- EDITORIAL, Sesungguhnya tidak mengira jika saat ini rakyat makin melek politik. Justru sebaliknya kebanyakan calon pemimpin yang membutakan rakyat dari dinamika politik. Apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam masyarakat kita. Rakyat makin pandai, bahkan mereka makin sadar politik. Apa permainan politik mereka makin canggih? Apa dasar rakyat memilih seorang calon?
Boleh percaya atau tidak. Jika survei dilakukan dengan materi pertanyaan yang bersifat netral, maka hasilnya akan menunjukkan gambaran kondisi obyektif. Masyarakat, nara sumber, akan menjawab pertanyaan apa adanya.
Karena pertanyaan yang disampaikan 'bersayap', maka jawabannya pun cenderung mengambang dan sangat tergantung kemana angin bertiup.
Belum lagi, banyak hasil survei terutama terkait kepentingan pemilukada, yang meragukan. Karena, survei yang dilakukan semata-mata untuk asal bapak senang (ABS). Sehingga hasilnya disesuaikan pesanan.
Zaman sekarang rakyat tidak memilih golongan dan tidak melihat pangkat. Yang penting, mereka memilih pemimpin yang memikirkan rakyat. Jawaban-jawaban pun terkadang merupakan cerminan sikap skeptis terhadap orang atau golongan. Bahkan, mereka tidak memperlihatkan pemihakan pada orang per orang atau golongan. Artinya, ini pun kurang lebih sikap nonsektarian juga jadinya. Apakah dengan demikian, mereka pendukung Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Wiranto, Hatta Rajasa, dan capres yang lain?
Belum tentu. Mungkin malah sebaliknya. Suara 'kasidahan' yang diperdengarkan elit atau ulama dari partai politik bernapaskan Islam sebenarnya, hanya merupakan gaung yang lebih nyaring dari suara 'kasidahan' para 'kawulo' kecil di tingkat lokal, termasuk di kalangan tukang ojek.
Dengan kata lain, kita sedang menerjemahkan isi hati mereka agar bisa dipahami dalam konteks yang lebih luas, buat kepentingan yang lebih besar. Pendeknya, kita mewakili kepentingan mereka. Yang, dalam percaturan nasional, seolah hilang begitu saja dalam angka statistik, tanpa suara dan rupa.
Ingat neraka adalah cermin perbuatan dosa. Setiap umat yang mengkhianati Allah dipastikan dijebloskan ke neraka jahaman. Sebaliknya umat yang soleh, tawadhu, dan tidak pernah melaksanakan perintah Allah dijamin akan hidup enak di surga.
Memang, hidup di zaman reformasi, makin tidak jelas antara makna mudharat dan manfaat. Seakan-akan semua bisa disulap menjadi tontonan menarik bak pertunjukan wayang kulit. Apalagi lakon yang disajikan bisa mewakili mayaritas masyarakat.
Ketika dalam Robohnya Surau Kami karya AA Navis memasukkan Haji Saleh (yang yakin bakal masuk sorga itu) ke neraka, sebenarnya ia sedang berbicara tentang suatu corak keagamaan yang tak ia restui. Navis sedang menggugat kesalehan ritual, jenis kesalehan yang ukurannya ditentukan berdasarkan seberapa taat seseorang menjalankan salat lima waktu, seberapa panjang dzikir-dzikir sesudah salat, dan seberapa sering salat sunat ia lakukan.
Manusia adalah makhluk agama (homo religius) yang selalu membutuhkan sesuatu yang bersifat transenden. Karenanya, banyak tindakan manusia -baik maupun buruk- ditentukan oleh pandangannya terhadap agama.
Jika pandangan hidup yang didasarkan pada norma-norma agama ini di warnai dengan pesan-pesan kearifan ekologis dari agama, bukan mustahil manusia akan ber-usaha menghargai alam sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Sehingga kewajiban melestarikan alam, sa-ma kuatnya dengan sejumlah kewajiban lainnya dalam agama.
Pengabaian kewajiban ini sama berdosanya dengan pengabaian ke-wajiban lainnya dalam agama. Maka, pembahasan nilai dan mengenal esensinya merupakan salah satu permasalahan yang sejak dahulu menyedot banyak perhatian para filosof (moral).
Semua berusaha sedemikian rupa untuk menemukan satu standar penilaian moral. Sehingga kita mengetahui secara yakin akan sejumlah tindakan yang bernilai moral.
Pada dasarnya egoisme dan mementingkan diri sendiri dalam setiap kasus seperti yang dicontohkan di atas adalah bagian persoalan serius akhlak yang melilit sebagian manusia. Namun, kita harus optimis bahwa masih banyak kita jumpai orang-orang yang setia pada nilai-nilai moral dan norma-norma agama bukan hanya karena kefanatikannya pada kebenaran dan kecintaan pada Tuhan.
Apalagi kesadaran agama yang menjadi spirit untuk mengaplikasikan nilai-nilai moral seperti keimanan kepada keadilan Ilahi, kenyataan hari kebangkitan dan hari pertanggungjawaban. Maka, kebanyakan manusia akan memiliki komitmen pada prinsip dan nilai moral bahwa derita para korban adalah derita kita bersama.
Begitu banyak manusia yang tunduk pada tuntutan-tuntutan moral hanya karena menanti surga, sebagaimana mereka menjalankannya terkait kekhawatiran akan ancaman siksa. Tentu dalam hal ini, agama punya peran sebagai pendorong untuk menerapkan nilai-nilai moral.
Dengan membawakan janji-janji terbesar di balik tindakan baik seperti membantu para korban gempa, agama lebih memungkinkan aktualisasi nilai-nilai moral. Bahkan, ada sejumlah pesan moral seperti pengorbanan diri dan mementingkan orang lain yang hanya bisa dijustifikasi rasionalitasnya dengan ajaran-ajaran agama.
Dalam perkembangan sosial masyarakat kita, keberpihakan merupakan panji-panji kaum intelektual yang berusaha untuk membangun hubungan dengan rakyat. Kaum intelektual yang tak mempunyai kekuatan berusaha mencari dukungan pada strata bawah dalam masyarakat. Itu sebagai bukti bahwa mereka berpikir, hidup, dan mencintai rakyat secara luar biasa.
Dan seperti halnya kaum populis yang siap turun ke masyarakat tanpa kain linen yang bersih, sisir, dan sikat gigi. Mereka siap mengorbankan kerumitan bentuk dalam ekspresi seni mereka, demi memberikan ekspresi yang paling spontan dan langsung untuk penderitaan dan harapan-harapan kaum tertindas.
Pada pihak lain, seni murni merupakan panji-panji kaum borjuis yang sedang tumbuh. Yang tidak bisa mendeklarasikan karakter borjuisnya secara terbuka, dan pada waktu yang sama berusaha mempertahankan kaum intelektual dalam kelompoknya.
Agama dan politik adalah dua soal berbeda. Tapi saling bertalian erat dan memikat banyak elit politik kita.
Ibarat perawan yang berparas cantik nan molek, agama selalu tampil memikat dengan busana sensual dalam segala suasana. Tidak mengherankan manakala orang yang mengaku kenal agama lantas gampang sekali tergoda dan menggoda demi melampiaskan syahwat politik dan kepentingan sesaat.
Fenomena tersebut kini makin kerap kita saksikan dalam belantara praktik politik, baik lokal maupun nasional. Dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) atau pemilihan gubernur di hampir seluruh daerah negeri ini, isu agama kerap dimainkan oleh para elite politisi. Kadarnya memang berbeda-beda, dan sangat tergantung situasi serta kondisi lokal di tiap wilayah.
Kita berharap semoga para elit politik semakin bosan memolitisasi agama dengan mengobral janji. Tapi, kita terus merindukan sosok pemimpin yang selalu berjihad untuk kepentingan rakyat.