Golkar Sesatkan Logika Berpikir Rakyat
detaktangsel.com– Partai Golkar mengaku belum puas dengan daftar pemilih tetap (DPT) yang disebut-sebut masih bermasalah. Partai berlambang pohon beringin ini pasrah, mengingat Pemilu Legislatif sudah ada di depan mata. Segala kecurangan yang terjadi diserahkan kepada rakyat yang memutuskan.
Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso mempertegaskan bahwa rakyatlah yang harus memutuskan jika memang terjadi macam-macam di lapangan. Sebab, suara rakyat adalah suara Tuhan.
Mengadopsi istilah Vox populi, vox dei, ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’ seperti disampaikan Priyo Budi Santoso itu menarik untuk dibedah secara politis maupun agamis. Ungkapan asal bahasa Latin ini merupakan suatu pernyataan yang cukup populer dan sangat identik dengan gerakan perlawanan.
Tetapi anehnya, justru slogan ini biasanya didengung-dengungkan penguasa otoriter yang menyamakan dirinya dengan Tuhan. Atau merasa mendapat hak istimewa dari Tuhan untuk menguasai segenap aspek kehidupan manusia.
Suara rakyat pun disakralkan. Seolah identik dengan firman Allah.
Masyarakat awam bertanya-tanya soal rumus-rumus matematika demokrasi mana memberi jawaban yang salah ini. Akibatnya, alur logika kerap menemui tonggak kebuntuan, sehingga fokus pertanyaan pada hakikat dari makhluk yang disebut rakyat.
Slogan ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’, sebuah asumsi belaka. Lalu, Partai Golkar ikut-ikutan salah kaprah.
Golkar merasa percaya diri (PeDe) menjiplak slogan 'Suara Tuhan Suara Rakyat' mentah-mentah tanpa reserve. Kalimat pendek ini dijadikan idiom politik.
Lewat serangan udara di jaringan kabel televisi dua stasiun pemancar milik pengusaha swasta, yang nota bene Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal atau Ical. Juga pemilik kedua stasiun televisi nasional.
Dengan nada suara koor dan lantang, sejumlah fungsionaris beringin meneriakkan idiom politik itu dengan nada yel-yel. Dalam ilustrasi model kampanye Ical di layar kaca, slogan ‘Suara Rakyat Suara Tuhan’, menjadi harga mati sebagai media ‘jualan’ Golkar ketika merayu rakyat kecil di pedesaan.
Coba saksikan pesan politik yang digelorakan melalui iklan di jaringan televisi swasta milik ICAL, idiom atau simbol komunikasi itu menyalah rumusan mana pun, apalagi dikaitkan ilmu komunikasi. Mana mungkin ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’. Ini namanya pelecehan terhadap ke-Esa-an Tuhan.
Ical bersama timnya terkesan ‘membeo’ dan asal telan usulan penggunaan idion itu sebagai jargon politik. Juga terkesan sombong, sehingga tanpa sadar menyeret logika berpikir masyarakat sesat.
Perlu diingat, budaya politik dan kebudayaan warisan leluhur tidak mengenal istilah tersebut. Seyogianya Ical mengetengahkan idion atau jargon politik bernapas kearifan lokal. Sehingga tidak sertamerta menumpulkan atau mendangkalkan penalaran rakyat terhadap arahmanirohim yang hanya dimiliki Allah (Tuhan).
Kenapa Syech Siti Jenar disingkirkan Wali Songo (Sembilan)? Konon dalam cerita, Syech Siti Jenar menglaim dirinya menyatu atau manunggal dengan Allah. Sunan Ampel dan Sunan-Sunan lainya marah besar.
Sunan Ampel dan kawan-kawan mendatangi dan mengingatkan agar Syech Siti Jenar tidak menggumbar pernyataannya tersebut di hadapan kawula (baca: rakyat). Ada kekhawatiran pernyataan Siti Jenar bahwa manusia manunggal dengan Allah akan menyesatkan pikiran rakyat. Karena ada persyaratan sangat berat manusia bisa dekat, bukan menyatu dengan Allah.
Itu hanya cerita. Kendati demikian, kiranya Ical bersama seluruh fungsionaris Golkar perlu hati-hati dalam menyampaikan pesan politik di hadapam rakyat. Kalau analogi politik ini benar versi Golkar, maka setiap perkataan manusia (baca: rakyat) sama halnya firman. Pendek kata, perilaku, fatsun politik pemilih, simpatisan, fungsionaris, dan pengurus Golkar adalah firman Allah.
Di sini analogi berpikir Syech Siti Jenar dan Partai Golkar ibarat kulit bawang, beda-beda tipis. Tentu, Golkar punya alasan politis menggunakan idiom itu sebagai jargon politik. Persoalannya, apakah orang-orang Golkar berpikir bahwa hal ini sama hanya meracuni sekaligus menyesatkan pola berpikir rakyat.
Kita memanggil Rasulullah hanya (mohon maaf ya Allah) dengan panggilan ‘hei atau wahai Muhammad’ dosa besar, apalagi mengasumsikan ‘Suara Rakyat adalah Suara Tuhan’. Coba teliti, berani tidak, partai-partai peserta Pemilu 2014 mengadopsi idiom itu menjadi jargon politik.
Kesalahan fatal Golkar ini bisa terjadi karena pengaruh kader muda yang berangkat dari organisasi pergerakan. Kesalahan tetap kesalahan, tidak dihapus menggunakan tipe-ex atau di-delete.
Dus, bagaimana rakyat mau memilih Ical pada Pemilu Presiden mendatang karena menjerumuskan rakyat pada pola pikir yang menyesatkan tersebut?
Rakyat sadar dan tahu persis, orang-orang Golkar telah melakukan kesalahan fatal untuk kali sekian terhadap rakyat. Kini, disusul kesalahan lagi yang fatal, yakni membentuk opini publik bahwa suara rakyat sama halnya suara Tuhan. (red)