Atut.... Atut....
detaktangsel.com- Terkait izin menemui Gubernur Banten Atut Chosiyah di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur. Setidaknya ada 13 item berkas penting yang saat ini harus segera ditandatangani Gubernur Atut. Sebanyak 13 item berkas penting itu di antaranya penandatanganan draf pelimpahan wewenang dari Gubernur Banten Atut Chosiyah kepada Wakil Gubernur Banten Rano Karno, draf evaluasi APBD kabupaten/kota tahun anggaran 2014 dan draf penetapan pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Ooooh!, inilah potret garis kebijakan yang terkesan sengaja dibuat berbelit-belit dan berliku-liku. Terkesan pula Atut sengaja menciptakan suasana Banten menjadi blunder dan karut marut di segala bidang yang bersentuhan dengan kemashalatan masyarakat banyak. Entah apa maksud Atut bertindak sedemikian rupa. Padahal jelas masalah yang dihadapi cukup berat. Kenapa tega membuat suasana batin warga, birokrasi, dan wakil rakyat menjadi galau.
Ada misi apa Atut di balik rumah tahanan Pondok Bambu menyeret masalahnya menjadi masalah Banten? Strategi politik apa lagi yang hendak Atut pamerkan?
Sebenarnya dan sesungguhnya Atut bisa mendelegasikan atau merekomendasi Rano Karno untuk melaksanakan kebijakannya, Bisa juga Atut memerintahkan Rano Karno mengambil alih segala urusan yang belum rampung dikerjakannya. Namanya Wakil Gubernur, sangat aneh bila tidak mau melaksanakan perintah Gubernur meski sedang ‘bertapa’ di rumah tahanan. Persoalannya, sejauh mana kemauan politik Atut mengapresiasi segala permasalahan termasuk perkembangan isu Banten menyusul dirinya menjadi warga negara yang ‘hilang’ hak kemerdekaannya,
Atut bukanlah Ratu dalam arti yang sebenar-benarnya, Nama Ratu hanya sekadar nama belaka, bukan nama panggilan sebagai istri raja. Namun, kenapa Atut bersikap dan tindakannya bak Ratu dalam arti sebenarnya.
Jadi teringat ketika Presiden pertama RI Bung Karno ‘dirumahkan’ oleh rezim Orde Baru. Semua urusan negara diserahkan kepada Bung Hatta, sebagai Wakil Presiden, Karena, Bung Karno tidak ingin proses ketatanegaraan ‘tenggelam’ bersama dirinya yang sedang ‘dirumahkan’ rezim Orde Baru.
Atut.....Atut! Coba bijaksana, sadar, dan tahu diri. Kursi singgasana kekuasaan kosong melompong. Kenapa tidak boleh dan diizinkan Rano Karno ‘mencolek’-nya. Bukan untuk menguasai, bahkan bukan pula membawa pulang. Rano Karno bersama birokrasi se-Banten agar bisa menghidupkan dan mengoperasikan mesin pembangunan.
Kalau boleh jujur, suasana kebatinan Banten makin galau sejak Atut meninggalkan dan pergi ‘bertapa’ di rumah tahanan Pondok Bambu. Kalau boleh jujur pula, warga masyarakat makin tidak menyukai Atut gara-gara meninggalkan ‘bom’ waktu, yang setiap saat meledak.
Apakah Atut punya niatan seburuk itu, ingin hancurkan Banten bersamaan dirinya kehilangan kekuasaan? Kiranya, tidak sampai sejauh itu Atut punya niat. Tidak segampang itu pula Atut memporakporandakan Banten.
Politik is politik, jangan campurkan dengan kemashalatan masyarakat. Kalau memang punya dendam politik, salurkan serangan balik secara politis. Kalau memang tidak suka Rano Karno dari PDI Perjuangan mengambil alih tugas-tugas kepemerintahan, usul ke Menteri Dalam Negeri agar dibentuk caretaker. Itupun kalau ada aturannya.
Sangat arif dan bijaksana, Atut harus selamatkan Banten yang karut marut ini. Sendi-sendi mesin pembangunan terseok-seok. Selain kehabisan gizi, suku cadang mesin pembangunan perlahan-lahan kehabisan pelumas, karatan semua.
Sebagai sosok keluarga berasal dari ‘Darah Biru’, Atut mengenal betul yang namanya Sabda Pandita Ratu, Maka seharusnya Atut pantang melanggar Sabda Pandita Ratu. Karena pemahaman dan substansi titah Sabda Pandita Ratu mempunyai arti penting bagi keluarga besar ‘Darah Biru’
Nasi sudah menjadi bubur. Kenyataan ‘dirumahkan’ KPK di Pondok Bambu akibat bermain-main dengan hukum. Banten pun menerima kenyataan ini dengan legowo. Banten makin legowo bila Atut merekomendasikan tugas-tugas kepemerintahan kepada bawahannya yang memang benar-benar berkompeten. Dan, akhirnya Banten bisa senyum sumringah bak anak perawan dipinang seorang Pangeran. (red)