Tangsel Tangani Anak Putus Sekolah
detaktangsel.com- Sesungguhnya angka anak putus sekolah di Tangerang Selatan tergolong masih tinggi. Biasanya sama sebangun dengan tingginya angka kemiskinan. Masyarakat berharap pemerintah menangani anak putus sekolah tak hanya janji saja. Pemerintah tak hanya umbar janji atau isapan jempol belaka karena memang sangat dibutuhkan masyarakat tak mampu di kota penyangga ibukota ini.
Keberadaan anak putus sekolah sebetulnya tak hanya menjadi kewajiban warga atau masyarakat saja. Pemerintah juga punya tangung jawab moral dan politik agar mereka mendapatkan pendidikan yang sama untuk kemajuan bangsa ini.
Memang tidak mungkin bisa dipungkiri bahwa
Masalah atau persoalan yang paling sering terjadi di suatu kota atau kabupaten baru di Indonesia salah satunya adalah pendidikan di samping kemiskinan. Lalu, bagaimana sikap dan kemauan politik Pemerintah Kota Tangsel menangani permasalahan ini?
Konon, Pemkot Tangsel sudah membuat program khusus bidang pendidikan menyusul masih tingginya anak putus sekolah di wilayah ini. Kalau tidak salah diberi titel ‘Posko Anti- Drop Out’ atau ‘Posko Anti-Anak Putus Sekolah’. Namun, gaungnya nyaris tidak terdengar lagi belakangan ini. Apakah program itu hanya retorika atau sekadar sloganisme?
Masyarakat ‘kadung’ keblinger program spetakuler tersebut. Sayangnya, tindak lanjut Pemkot maupun Dinas terkait tidak bergaung sama sekali. Padahal terobosan melalui program yang diberi
titel ‘Posko Anti- Drop Out’ atau ‘Posko Anti-Anak Putus Sekolah’, sebuah gagasan cemerlang. Kenapa pelaksanaannya memble?
Patut dipertanyakan masalah ini sangat erat hubungannya dengan sejauhmana upaya Pemkot menekan angka anak putus sekolah dan angka kemiskinan.
Disinyalir masih ada kekurangan terhadap penangganan anak putus sekolah. Sehingga Pemkot meminta semua pihak termasuk masyarakat ikut memantau masalah pendidikan tersebut. Berdasarkan data lama bila belum ada penambahan, angka kemiskinan di Tangsel mencapai 200.000 dari jumlah penduduk 1.037.665 orang. Angka itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2008. Pengentasan kemiskinan menjadi salah satu prioritas program pembangunan Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangsel. Wilayah Tangsel memiliki tujuh kecamatan dengan 49 kelurahan dan lima desa. Berdasarkan data statistik, terdapat sejumlah kantong kemiskinan di Tangsel yakni Kecamatan Pamulang (38,8%), Kecamatan Pondok Aren (13,6%), dan Kecamatan Setu (12,7%).
Dus persoalan kemiskinan dan pengangguran ini merupakan bagian dari program prioritas Pemkot di masa mendatang. Sedangkan masalah lainnya seperti di bidang infrastruktur dan fasilitas publik, serta persoalan pendidikan dan kesehatan juga menjadi lahan garapan.
Di tengah pertumbuhan perumahan di Tangsel, seperti Bumi Serpong Damai (BSD), Citra Raya, Bintaro Jaya dan Alam Sutera, kantong-kantong kemiskinan masih tersebar luas. Bahkan di Kecamatan Serpong yang banyak menyediakan komplek perumahan mewah masih ada beberapa kantong kemiskinan seperti di Kelurahan Ciater, Rawabuntu, dan Serpong.
Berangkat dari permasalahan itu,
pembangunan Tangsel harus dikelola dan ditata sedemikian rupa dengan harapan dan keinginan warga sesuai potensi yang ada.
Dari keseluruhan penduduk Kota Tangsel, sebagian besar pekerja adalah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) dengan latar belakang pendidikan SLTA ke bawah. Kelompok usia tidak produktif banyak terdapat di Kecamatan Pondok Aren dan Pamulang. Dilihat dari tingkat pendidikan penduduk usia produktif, SDM Kota Tangsel belum memiliki nilai tambah bagi daerah otonom. Hal ini ditunjukkan pula oleh adanya angka pengangguran yang masih relatif tinggi, yaitu sebesar 11,43% dari total usia produktif.
Dilihat dari jenis usahanya, tenaga kerja yang memiliki skill dan profesional lebih banyak di sektor perdagangan, hotel, dan air bersih. Sementara tenaga kerja yang berlatar belakang pendidikan SLTA ke bawah berkerja di sektor industri pengolahan dan jasa.
Di bidang pendidikan, Kota Tangsel memiliki begitu banyak SMP dan SMA serta perguruan tinggi swasta yang memiliki nama. Namun tidak bisa dijangkau oleh masyarakat kelas menengah ke bawah. Karena itu, perlu diupayakan pendidikan yang terjangkau, dan juga anggaran pendidikan 20 persen dari total jumlah APBD harus benar-benar diwujudkan.
Kiranya, masalah ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi Pemkot. Lantas, jalan tengah yang bagaimana untuk mengupayakan supaya biayanya dapat terjangkau oleh masyarakat dan beasiswa bagi mereka yang berprestasi?