RUU Jabodetabekjur Untuk Selamatkan Megapolitan
detakbogoraya– BOGOR, Anggota DPD Bogor Paulus Yohanes Sumino mengritisi kebijakan pengelolaan megapolitan Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi– Cianjur (Jabodetabekjur). Pelaksanaan pembangunan ini cenderung menununjukkan kesemrawutan dan salah kaprah. Sehingga keselamatan, kesejahteraan, dan masa depan kawasan beserta penduduk di terancam.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Paulus Yohanes Sumino mengungkapkan hal ittu di lokakarya bertajuka 'Pengayaan Draft Naskah Akademik Rancangan UU Pengelolaan Terpadu Wilayah Jabodetabekjur di Bogor, kemarin.
Sejumlah aturan yang sudah dibuat, menurutnya, belum efektif untuk mengatasi kekacauan Jabodetabekjur. Justru keberadaan Badan Kerja Sama Pembangunan Jabotabek pun tidak menolong. Sebab, lembaga ini seakan tidak berkekuatan. Untuk itu, diperlukan UU yang bisa memaksa pemerintah otonom di Jabodetabekjur bekerja sama menyelamatkan kawasan secara seimbang dan adil.
Paulus mengatakan, berbagai masalah Jabodetabekjur adalah banjir, tanah longsor, penurunan tanah, kenaikan permukaan air laut, kemacetan, polusi, sampah, dan lonjakan jumlah penduduk. Ini akibat kesalahan manajemen lingkungan, mobilitas manusia, dan pergerakan ekonomi.
"Kondisi ini dialami 30 juta penduduk di kawasan ini adalah masalah-masalah terus," kata Paulus. Jika membiarkan masalah ini, ia mengakatan, megapolitan benar-benar akan hancur dan masyarakatnya hidup dalam kesuraman. Alasan dibuatnya rancangan RUU ini untuk mencari solusi Jakarta sekarang dan ke depan sekaligus sebagai contoh model manajemen lingkungan untuk daerah lain.
"Ini semua harus dipaksa untuk bekerja sama dan tidak cukup regulasinya saja yang digulirkan. Karena kalau seperti itu, akhirnya berjalansendiri-sendiri," ujar Paulus.
Dalam proyeksi ini, menurutnya, akan dilakukan perubahan kelembagaan serta kewenangan. Hal itu untuk memadukan sistem manajemen lingkungan antarwilayah dan kegiatan manusianya. Semua itu butuh konsistensi satu sama lain. Jangan sampai nantinya malah tidak dilakukan lagi.
Ia menyebutkan, berbagai masalah telah dirasakan. Itu disebabkan manajemen lingkungan serta penataan mobilitas manusia yang buruk. Karena Jakarta sendiri merupakan ibukota negara, di mana mobilitas ekonomi begitu cepat.
"Ini semua harus segera diselesaikan. Kalau tidak akan bertumpuk jadinya dan menjadi masalah baru kedepannya," ungkapnya.
Dikatakannya, memang konsep daerah Jakarta memang banyak diikuti wilayah lain. Jika itu terus terjadi, tidak tertutup kemungkinan daerah yang saat ini mulai berkembang akan hancur seperti Jakarta.
Sementara peneliti Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB Ernan Rustiandi mengemukakan, megapolitan adalah jantung negara. Namun, salah pengelolaan mengakibatkan 60 persen ruang terbuka hijau hilang sejak 1970. Kawasan yang tidak bertambah luasnya disesaki 30 juta penduduk.
Ia mengakui, banjir dan tanah longsor menjadi bencana alam langganan akibat ulah manusia. Hal ini mengakibatkan kerugian ekonomi tinggi dan daya saing kawasan di dunia menjadi rendah. (rul)