Polri di Era Reformasi
Oleh : Kisman Latumakulita*
Orang pertama yang menyuarakan agar POLRI keluar dari ABRI adalah Prof. Dr J.E. Sahetapy pada tahun 1993. Sahetapy menginginkan POLRI keluar dari ABRI tanpa suatu pretensi atau motivasi apapun apalagi yang bernafaskan politik. Pemikiran tersebut mengemuka dengan alasan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme POLRI sebagai barisan terdepan dengan tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dari berbagai bentuk kejahatan.
Dengan keluarnya POLRI dari ABRI maka diharapkan fungsi utamanya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bisa dijalankan secara maksimal. Selain itu dapat berfungsi sebagai pengayom masyarakat yang disegani dan dihormati. bukan karena ditakuti masyarakat.
Prof. Sutjipto Raharjo pernah menulis dalam sebuah artikel agar "POLRI dan Mahasiswa Harus Bersatu". Artinya, bila ada demonstrasi maka Polisi menjadi pengawal utama keselamatan dan keamanan mahasiswa dari segala gangguan keamanan. Kenyataannya justru sebaliknya, Polisi malah menjadi pihak yang paling terdepan berhadap-hadapan dengan mahasiswa, bahkan sampai terjadi korban di pihak mahasiswa yang dirawat di berbagai rumah sakit di Tanah Air.
Pemisahan POLRI dari ABRI dibuat dalam sidang istimewa MPR RI tahun 1998 dengan Ketetapan MPR RI No X/MPR/1998 yang berbunyi "Menugaskan Kepada Presiden/Mandataris MPR untuk memisahkan POLRI dari ABRI.
Pada 17 Agustus 1998, untuk pertama kalinya Presiden B.J Habibie mencanangkan program kemandirian POLRI, yaitu rencana untuk menjadikan POLRI terlepas dari organisasi ABRI. Harapan Prof B.J Habibie adalah POLRI bisa lebih memenuhi fungsi utamanya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum dan pengayom masyarakat tanpa perlu diintervensi oleh berbagai kepentingan termasuk dari pemerintah dan ABRI. Faktanya sekarang, POLRI secara sadar maupun tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja membuka diri lebar-lebar untuk ditarik-tarik kedalam irama dan permainan politik di luar POLRI hanya untuk memenuhi syahwat dan ambisi pribadi oknum-oknum petinggi POLRI.
Pada tanggal 1 April 1999, diterbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Langkah-Langkah Kebijakan Kalam Rangkaian Pemisahan POLRI dari ABRI, yang menjadi landasan formal bagi reformasi POLRI. Selanjutnya, berdasarkan Inpres Nomor 2 Tahun 1999 tersebut, sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan serta operasional POLRI dialihkan di bawah Dephankam, dan menjadi titik awal dimulainya proses reformasi POLRI secara menyeluruh menuju POLRI yang profesional dan mandiri sesuai tuntutan dan harapan masyarakat.
Selanjutnya pada sidang tahunan MPR RI bulan Agustus tahun 2000, MPR mengeluarkan dua TAP MPR tentang POLRI yaitu TAP MPR No.IV/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dari POLRI dan TAP MPR No.VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan POLRI.
Walaupun POLRI telah mendapatkan kejelasan posisinya dalam sistem ketatanegaraan, yaitu POLRI langsung dibawah Presiden, agar lebih fokus pada tugas utamanya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menjadi pengayom masyarakat yang humanis, namun dalam kenyataannya di lapangan POLRI lebih menampakan diri sebagai kekuatan refresif baru di masyarakat yang kasar seperti bolduser yang siap menggilas siapa saja yang ada di depan bolduser, dan kurang berperikemanusiaan seperti yang diperlihatkan oleh Densus 88 POLRI, Dalmas POLRI dan Penyidik di jajaran Reserse POLRI.
Kenyataan ini semakin menjauhkan postur Polisi dari salah satu tugas utamanya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat yang humanis, dengan mengedepankan proaktif-preventif. Kondisi ini semakin diperparah dengan keputusan Kapolri Jendral Sutarman yang mewajibkan atau membolehkan Brimob POLRI menggunakan seragam loreng ala militer kombaten pada ulang tahun ke 69 Brimob POLRI bulan November 2014 lalu.
Sebagai catatan, Polisi dibawah Presiden ini hanya di Indonesia dan Papua Newgini. Semua Negara di dunia institusi Polisi berada dibawah kementerian, apakah itu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehakiman, Kementerian Pertahanan atau bahkan Kejaksaan Agung. Pada tetangga kita Singapura misalnya institusi Kepolisian berada dibawah Badan Intelijen Negara, sedangkan badan Intelijen Negara berada dibawah Kementerian Dalam Negeri yang secara ex officio dijabat Perdana Menteri Singapura. Begitu pula dengan institusi Kepolisian di Malaysia, Thailand, Vientnam, Kamboja dan Philipina yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri
Kegaduhan Pengangkatan Kapolri
Kegaduhan politik di balik setiap pengangkatan Kapolri ini dimulai dari pergantian Kapolri Surojo Bimantoro kepada Irjen Chairudin Ismail. Kegaduhan ini sampai dengan pergantian dari Bimantoro kepada Konjen Da'i Bachtiar, yang berakhir dengan penolakan serta protes dari para perwira menengah (Pamen) Polisi yang dikoordinir oleh Kolonel Alfons Loemau.
Kegaduhan sedikit meredah ketika pergantian Kapolri dari Da'i Bachtiar ke Sutanto dan Sutanto kepada Bambang Hendarso Danuri (BHD). Namun kegaduhan mulai muncul lagi saat pergantian Kapolri dari BHD kepada Timur Pradopo. Mabes POLRI dibawah BHD ketika itu mengusulkan dua nama, Komjen Nanan Sukarna dan Komjen Imam Sudjarwo, namun usulan tersebut tidak direspon Presiden SBY sebulan lebih. SBY kemudian menggunakan otoritasnya sebagi Presiden dengan memaksakan Timur Pradopo yang ketika itu Kapolda Metro Jaya dan masih bintang dua dinaikan pangkatnya menjadi bintang tiga dengan jabatan Kabaharkam. Hanya dalam waktu kurang dari lima jam Timur Pradopo diusulkan SBY ke DPR sebagai calon Kapolri.
Kegaduhan ini berlanjut meskipun dalam skala yang kecil ketika pergantian Kapolri dari Timur Parodopo kepada Sutarman. Sebab Mabes POLRI menginginkan Komjen Badrodin Haiti yang ketika itu menjabat Kabaharkam POLRI sebagai Kapolri pengganti Timur Pradopo. Lagi-lagi SBY menggunakan jurus mabok dan kewenangannya untuk memaksakan Kabareskrim Sutarman sebagai calon Kapolrinya SBY, dan jadilah Sutarman Kapolri pengganti Timur Pradopo.
Lagi-lagi kegaduhan di sekitar pergantian Kapolri ini semakin menjadi tontonan dan diskusi menarik di masyarakat, para politisi, baik dalam maupun luar negeri di era pergantian Kapolri dari Sutarman kepada Budi Gunawan yang sampai hari ini belum menjadi Kapolri. Tragisnya, yang menjadi catatan sejarah kelam Polisi dan Bangsa Indonesia adalah hanya dalam empat bulan terahir Indonesia memiliki dua calon Kapolri.
Satu calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yang sudah melewati semua proses hukum dan ketatanegaraan, serta sudah mendapat persetujuan dari sidang Paripurna DPR. Sedangkan satu lagi calon Kapolri yaitu Komjen Badrodin Haiti yang sedang dan akan dibahas oleh DPR dengan sejumlah riak dan manuper politik. Kita tidak tahu sampai kapan publik disuguhi kegaduan dan dagelan politik dibalik pengangkatan Kapolri ini akan berahir.
Distorsi Sebagian Fungsi Polri
Sedikitnya ada tiga fungsi Polri yang hari ini sangat menyita tugas-tugas utama Polri sebagai penjaga dan pengawal keamanan serta ketertiban masyarakat, yaitu penyelidikan dan penyidikan masalah korupsi, penyelidikan dan penyidikan masalah terorisme serta penyelidikan dan penyidikan masalah narkotika. Ketiga masalah ini bahkan semakin menjauhkan POLRI dari masyarakat akibat banyaknya anggota POLRI melaksanakan tugas diluar fungsi utamanya.
Kita belum memiliki referensi yang cukup tentang banyaknya negara di dunia ini yang polisinya cawe-cawe atau menyibukan diri dengan hal-ihwal yang berkaitan dengan masalah korupsi dan kriminal ekonomi lainnya seperti Fiscal, Moneter, Devisa, Lingkungan, Pencurian Ikan, Illegal Loging dan Illegal Mining.
Polisi yang mengurusi bidang-bidang kriminal ekonomi negara seperti ini hanya kita temukan di Indonesia yang melibatkan dan menyita sedikitnya ribuan bahkan mungkin juga puluhan ribu anggota polisi. Kenyataan ini tidak pernah kita temukan di negara lain. Akibatnya, begal beroperasi dimana-mana, pemerkosaan dan pelecehan seksual sering terjadi di angkot, pencurian dan penjambretan di siang hari atau malam juga menjadi pemandangan atau berita yang gampang kita saksikan atau baca di media massa.
Harusnya kriminal bidang ekonomi seperti ini cukup ditangani oleh Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena kedua lembaga ini dibentuk untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kriminal ekonomi Negara atau Pidana Khusus (PIDSUS). Sedangkan Polisi dikembalikan kepada tugas utamanya sebagai penjaga dan pengawal keamanan dan ketertiban masyarakat serta akibat hukum yang ditimbulkannya.
Begitu pula peran yang selama ini dilaksanankan oleh Detasemen Khusus (DENSUS) 88 Anti Teror POLRI. Peran ini sebaiknya diserahkan kepada TNI, karena bentuk dan sifat terorisme sudah mengancam sendi-sendi keselamatan, keamanan dan ketahanan negara. Bukan semata soal ancaman terhadap ketertiban dan keamanan masyarakat (Kamtibmas). Kebetulan TNI telah memiliki satuan-satuan anti teror yang handal dan teruji seperti Detasemen GULTOR Kopasus, DENJAKA Marinir TNI AL dan DENBRAVO Paskhas TNI AU.
Pada semua negara di dunia, penaggulangan dan pemberantasan atas aksi-aksi dan gerakan terorisme ditangani oleh tentara atau SPECIAL FORCES (Pasukan Khusus Tentara) dan bukan oleh Polisi. Penyebabnya, penanganan atas gerakan dan aksi terorisme bukan sekedar berhenti pada aksi-aksi dan kegiatan yang menimbulkan kekacauan atau ketakutan di masyarakat maupun negara, tetapi berkaitan dengan penangan lanjutan tentang perubahan cara berpikir Ideologi Negara, Sistem Ekonomi Negara dan Sistem Budaya Masyarakat yang membutuhkan waktu yang panjang dan lama. Tidak cukup dan berhenti dengan menembak mati para pelaku dan calon pelaku teorisme seperti yang dilakukan Densus 88 Polri selama ini.
Sedangkan narkoba dengan segala akibatnya adalah penyakit masyarakat yang tidak berbeda jauh dengan terorisme. Hanya narkoba tak berkaitan dengan Ideologi Negara, Sistem Ekonomi, Negara dan Budaya suatu masyarakat, sehingga penanganannya juga memerlukan lembaga khusus seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) yang diisi oleh berbagai unsur kompnonen bangsa seperti Polisi, TNI, Ulama, Rohaniawan serta tokoh-tokoh dari kalangan budayawan.
Penanganan dan pemberantasan narkoba dengan segala akibatnya sangat memerlukan waktu yang panjang dan lama, termasuk penanganan rehabilitasi dan pasca rehabilitasi. Pekerjaan ini bila hanya ditangani atau dilakukan Polisi, maka dengan sendirinya akan menyita dan menarik kembali Polisi dari tugas utamanya menjaga dan pengawal keamanan dan ketertiban masyarakat.
Keterlibatan polisi dalam penanganan dan pemberatansan narkoba sebaiknya hanya terbatas pada penyidikan dan pemberkasan atas berkas perkara pidana narkotika. Sedangkan penyelidikan dan penindakan sebaiknya melibatkan unsur-unsur dari TNI yang secara khusus diperbantukan atau di BKO-kan ke BNN.
Kesimpulan dan Saran
Distorsi atas tugas dan fungsi Polisi di bidang pemberantasan korupsi dan kriminal ekonomi lainnya, penenganan dan pemberantasan terorisme serta narkotika harus diakhiri agar puluhan ribu anggota Polisi yang selama ini menangani ketiga bidang tersebut lebih fokus melaksanankan tugas dan fungsi utamanya sebagai penjaga dan pengawal ketertiban serta keamanan masyarakat. Diharapkan ke depan begal tidak lagi berkeliaran, seperti yang terjadi minggu lalu di Bogor, dimana begal menembak mati masyarakat yang mengejar begal usai begal mencuri motor masyarakat. Kita juga berharap agar tidak lagi mendengar cerita atau berita tentang perampokan di taxi dan rumah-rumah milik masyarakat atau kaum perempuan yang mengalami pelecehsn seksual di angkutan umum (angkot) dan hanya mendapat pertolongan atau penyelamatan dari angggota TNI seperti Kopasus, Kostrad dan Marinir.
Pertanyaannya, ditugaskan dimanakah Resmob polisi? Di mana juga Intelkam POLRI setiap tahun diberikan anggaran dari pajak rakyat ratusan milliar rupiah untuk melakukan deteksi dini terhadap setiap ancaman keamanan dan ketertiban masyarakat? Ketika POLRI masih dibawah ABRI, masyarakat sangat membanggakan Resmob Polisi karena selalu mobile di tengah-tengah masyarakat untuk melindungi rakyat dari gangguan keamanan dan ketertiban yang tidak diduga.
Ke depan perlu dilakukan penataan ulang Institusi POLRI dengan penekanan utama pada penataan "Struktur dan Fungsi POLRI". Secara kelembagaan POLRI harus berada dibawah sebuah Kementerian, apakah itu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kehakiman atau Kementerian Pertahanan, sehingga nama kelembagaan Kementerian Pertahanan kembali dirubah menjadi Kementerian Pertahanan dan Keamanan (Kemenhankam), dimana lembaga POLRI dan TNI sama-sama berada dibawah Kemenhankam, dan bukan dibawah lembaga Kepresidenan.
Langkah kearah penataan kembali Struktur dan Fungsi POLRI tersebut bisa dimulai dengan melakukan amandemen terbatas terhadap Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Keamanan Nasional (KAMNAS).
*Direktur Eksekutif Institute for Strategic and Indonesian Studies (ISIS)