Menimbang UU Pilkada Baru
detaktangsel.comEDITORIAL - Sidang Paripurna DPR yang mengagendakan pengesahan RUU Pilkada menjadi UU, Kamis (25/9) berakhir hingga Jumat (26/9) dini hari, tepatnya pukul 02.15. Selain berlangsung alot dan seru hingga harus diputuskan melalui voting, juga kalangan anggota dewan menunjukkan tontonan akrobati politik.
Alhasil akhirnya, sebanyak 135 anggota yang hadir memilih pilkada tetap secara langsung. Adapun pendukung pilkada oleh DPRD sebanyak 226 orang. Sementara Fraksi Demokrat yang semula mendukung pilkada langsung dengan syarat lalu memilih walkout alias meninggalkan gelanggang. Padahal syarat yang ditawarkan Demokrat sudah disetujui Fraksi PDI-P, PKB, dan Hanura.
Pimpinan sidang Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso sangat piawai mengatur dan mengendalikan 'permainan' jalannya sidang. Tak pelak, gaya kepemimpinan Priyo menyebabkan proses persidangan 'dihujani' interupsi.
Tampak Aria Bima dari Fraksi PDIP emosional ketika pimpinan sidang mengetok palu untuk mengamini agenda mengambil keputusan voting. Akhirnya pimpinan sidang menganulir ketokan palu tersebut menyusul mendapat protes keras dari kubu Indonesia Hebat.
Banyak pihak menyayangkan sekaligus menyesalkan sikap Demokrat yang walk out. Demokrat dinilai tidak menunjukkan komitmen kejantanan sebagai ksatria politik. Sebagai kepanjangan tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Demokrat malah mengambil keputusan bak anak kecil kehilangan permainan.
Sudahlah itu urusan Demokrat, bukan urusan rakyat. Nah, RUU Pilkada telah menjadi UU. Lantas, keuntungan apa yang bisa dipetik rakyat setelah proses Pilkada dikembalikan ke DPRD?
Jelas pengesahan UU Pilkada tetap menimbulkan dampak, konon, hak konstitusi rakyat hilang. Rakyat tidak memiliki kedaulatan untuk menentukan dan memilih pimpinan daerah secara langsung. Di sisi lain, rakyat pasti menggerutu bukan hanya kehilangan kedaulatan. Bahkan, kehilangan rejeki di balik penyelenggaraan Pilkada yang dikembalikan ke DPRD tersebut.
Apakah benar sinyalemen bahwa rakyat kehilangan hak konstitusi atau kedaulatan dalam proses demokratisasi? Pertanyaan ini selalu menjadi acuan dan didengung-dengungkan kalangan anggota dewan sepanjang persidang berlangsung. Makanya, kubu koalisi Indoneia Hebat all out ingin memenangkan pemunggutan suara. Namun, dewi fortuna belum berpihak kalangan anggota dewan yang pro-Fraksi PDIP. Langkah mereka berhenti sejak hasil pemunggutan suara menunjukkan perolehan angka 135 (Pilkada langsung) : 226 (Pilkada lewat DPRD).
Hasil ini tentu mengubah konstelasi politik nasional. Kalangan elit partai politik menggeliat. Mereka dituntut bekerja lebih keras mencari serta mendapatkan kendaraan politik yang memiliki mesin kuat untuk menghantarkan menuju singgahsana kursi kepemimpinan lokal.