Proses Pengesahan RUU Pilkada
detaktangsel.comEDITORIAL - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sidang Paripurna DPR, Kamis (25/9), bak magnet. Menyedot sekaligus menarik perhatian berbagai kalangan masyarakat seantero Nusantara.
Alot, kira-kira demikian proses pengesahan RUU Pilkada. Dua kubu saling mematok harga mati. Pilkada langsung atau tidak. Rakyat pun ikut pusing tujuh keliling akibat imbas proses pertarungan kedua kubu yang saling mempertahankan kehendak politiknya tersebut.
Tidak satu pun fraksi yang ikut sidang paripurna menunjukkan sikap bijak saat memahas RUU Pilkada. Padahal dalam suasana negeri yang karut marut dalam tahapan masyarakat memasuki fase stres sosial, sekali-kali wakil rakyat memberi kesejukan. Bukan gontok-gontokan atau cakar-cakaran mencari kemenangan.
Rakyat sadar bahwa kondisi sosial politik ini merupakan residu dari pelaksanaan Pemilihan Presiden yang lalu. Akibatnya kesan 'dendam' politik menguat ketimbang cerminan sifat dan perilaku politik yang bijak.
Apa ukuran proses Pilkada langsung dan tidak langsung berjalan demokratis? Rakyat tidak pernah diberi jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral maupun politik tentang ukuran demokrasi. Lalu, ada apa di balik keruwetan sekaligus kealotan proses pengesahan RUU Pilkada?
Ada kubu menglaim anggota DPRD adalah cerminan rakyat. Tidak ada salahnya bila Pilkada dikembalikan ke dewan. Kubu lain tidak kalah. Mereka mengeluarkan pendapat sama tidak tidak serupa. Pertanyaan, kedua kubu ngotot membahas pengesahan RUU Pilkada dalam koridor kepentingan rakyat?
Terkesan pula atas nama kepentingan rakyat dijadikan alasan pembenaran untuk menerima atau menolak Pilkada dikembalikan ke DPRD. Kenapa wakil rakyat yang terhormat tidak berani menyatakan kejujuran bahwa sikap mereka menerima atau menolak, atas nama kepentingan partai.
Kiranya rakyat sudah mual dan ingin muntah ketika mendengarkan pernyataan elit politik selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat. Karena rakyat nyaris tidak pernah dilibatkan dalam setiap pembahasan sebuah kebijakan. Kalau toh dilibatkan, pemikiran dan sikap rakyat selalu 'dipasung' jebakan lewat pertanyaan yang menjerat. Akhirnya rakyat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyatakan jawaban ya atau tidak ketika menghadapi kenyataan.
Rakyat hanya ingin elit politik bersama birokrasi bisa menciptakan stabilitas ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Mereka tidak melakukan perlawanan bila stabilitas tercipta di negeri ini. Ibaratnya bila cermin sudah tidak berarti lagi, maka pecahkan berkeping-keping. Sebut satu kata: Hak Rakyat.