Penculikan Anak Marak, Rasa Aman Kian Mahal
Detaktangsel.com, OPINI -- Kasus penculikan anak di Indonesia sebagaimana dirilis sejumlah media maupun diviralkan dalam sosial media semakin marak. Kondisi tersebut, tentunya menambah keresahan di masyarakat luas.
Pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menyebutkan, kasus penculikan anak sepanjang tahun 2022 terjadi 28 kasus. Data tersebut, jumlahnya naik dibandingkan tahun 2021 yang tercatat 15 kasus (CNN Indonesia, 2-2-2023).
Jumlah ini, tentu bukan sekedar angka mutlak. Diduga kuat, kasus penculikan anak yang tidak dilaporkan dan terekspose, jauh lebih besar dibandingkan kasus di lapangan sebagaimana fenomena gunung es. Karenanya, seluruh pihak perlu meningkatkan sensibilitas kesadaran serta kewaspadaan. Terlebih, banyak beredar video viral tentang penculikan anak di media sosial yang telah terkonfirmasi kebenarannya. Sebut saja, penculikan bocah berumur 11 tahun di Makassar yang terekam CCTV. Kasus penculikan Malika oleh seorang pemulung, juga penculikan balita di Cilegon adalah contoh nyata. Kasus terbaru adalah banyaknya penculikan anak di Yogyakarta yang cukup menyita perhatian.
Merespon hal tersebut, Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Kustiningsih menyebutkan, bahwa kondisi ini menjadi pengingat terkait dengan pentingnya untuk membangun interaksi dan relasi sosial dengan lingkungan sekitar. Hal itu perlu dilakukan orang tua di samping menambahkan pengawasan ekstra serta membekali pendidikan dasar kepada anak (SuaraJogja.id).
Hal yang senada diungkap oleh Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak mengajak seluruh pihak, baik orang tua, masyarakat, sampai pemerintah terlibat dalam pengawasan anak dari penculikan anak. Menurut Nahar dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, bahwa ancaman yang berdampak lebih buruk bisa kita hindari. (Tempo.co.id)
Mengurai akar persoalan tersebut, penulis mencoba untuk mengakomodir berbagai pendapat publik perihal akar persoalan maraknya penculikan anak. Ada banyak faktor pemicu, namun penulis berupaya mengerucutkan dalam tiga kategori. Pertama adalah faktor kemiskinan._Jamak kita pahami dan sudah menjadi rahasia umum bahwa kemiskinan menjadi sisi kehidupan yang tak terelakkan. Rasa cukup tak lagi dinikmati oleh sebagian besar penduduk yang hidup di jamrud katulistiwa ini. Kondisi itu berimbas pada kondisi anak-anak yang juga kekurangan.
Kasus penculikan Malika untuk kepentingan pemulung, digunakan pelaku untuk mengemis. Andai saja lapangan pekerjaan mudah diakses, mungkin saja profesi pengemis tak lagi diminati. Juga bocah berusia 11 tahun yang semestinya menyibukkan diri untuk belajar di rumah dan di sekolah justru harus mengadu nasib di jalanan yang sangat rawan tindak kriminal.
Dengan keterbatasan nalarnya, korban terayu imbalan Rp 50 ribu untuk membersihkan rumah si pelaku. Pelaku sendiri tergiur dengan Rp 1,2 milyar dari tawaran jual beli ginjal di media sosial.
Kedua adalah hilangnya ketakwaan. Kemiskinan bukan satu-satunya faktor tunggal maraknya kasus penculikan anak. Ada faktor yang lebih fundamental dalam kehidupan yakni faktor keimanan. Ketakwaan kepada Allah SWT, semestinya menjadi alarm bagi seseorang untuk mengontrol seluruh perbuatannya. Jika iman telah terpatri dalam hatinya dan meyakini sepenuh hati bahwa rizki merupakan urusan Allah Ta’ala. Maka, mereka (pelaku) kriminal akan berfikir ribuan kali untuk menempuh jalan haram demi mendapatkan rejeki.
Namun, kini tak sedikit orang yang minim bahkan hilang ketakwaannya. Keimanan tidak terbangun dengan kuat, kehidupan sekulerisme yang menjadi habitat hidup mereka sejak lahir berefek pada kepribadian yang terbentuk. Paham sekulerisme yang menjadikan agama hanya tentang urusan peribadatan dan menihilkan perannya dalam kehidupan, menjadikan seseorang tidak memahami ajaran agamanya dengan sempurna. Bahwa Islam memiliki pengaturan terhadap seluruh urusan kehidupan yang kompleks.
Sebagai contoh, Islam mengajarkan bahwa nyawa manusia lebih berharga dari pada dunia dan seisinya. Dengan konsep ini, maka nyawa manusia sangat berharga dan harus dijaga.
Penculikan merupakan tindak kriminal yang patut dijatuhi hukuman berat. Dan, wajibnya mencari nafkah dengan cara halal oleh kepala keluarga yang bertanggungjawab memberikan nafkah kepada orang-orang yang berada dibawah tanggungjawabnya seperti anak, istri, dan sebagainya.
Ketiga adalah Kebijakan Kontraproduktif. Dalam konteks perlindungan anak, payung hukum memang telah dipersipkan. Akan tetapi, seperti yang kita saksikan bersama, hukuman bagi pelaku cukup ringan dan sangat tidak menjerakan. Pasal 83 UU 23/2022 tentang Perlindungan Anak menegaskan, pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit tiga (3) tahun, serta ancaman pidana berupa denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta. Akankah sanksi seperti ini membuat pelaku kriminal jera?
Belum lagi soal lobi sana lobi sini kerap terjadi. Realitas hukum yang tampak mudah diperjualbelikan. Di mana ada uang, hukuman bisa diringankan, bahkan pelaku bisa melenggang. Oleh karenanya, tindakan kuratif seperti ini tidak berjalan efektif. Begitu pula cara preventif masih lemah, media sosial sangat mudah diakses oleh siapa pun. Bahkan, beragam konten bebas dikonsumsi oleh seluruh lapisan umur, baik anak-anak maupun orang dewasa, seperti konten pornoaksi, pornografi, tindak kriminal, bulliying, pelecehan seksual, dan lain-lain.
Dengan pengaturan yang serba bebas ini, rasa aman pun kian mahal untuk diperjuangkan. Undang-undang lain yang juga terkesan kontraproduktif dalam merampungkan berbagai persoalan.
Di atas disampaikan tentang faktor kemiskinan sebagai salah satu pemicu penculikan, namun regulasi yang ada justru seakan melanggengkan kemiskinan, Undang Undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja yang melegalkan perusahaan mengupah pekerjanya dengan murah, bahkan mem-PHK mereka. UU Minerba yang juga sangat jelas memihak kepada korporasi untuk semakin menguasai sumber daya alam milik rakyat. Setidaknya dua kebijakan dalam hal perekonomian rakyat ini sangat kentara merugikan rakyat kecil dan menambah kemiskinan. Hal itu menyebabkan kemiskinan, angka kriminalitas meningkat, termasuk penculikan anak.
Solusi tuntas penculikan anak melalui kesempurnaan syariat Islam tak diragukan. Kemampuannya menyelesaikan persoalan kehidupan telah teruji nyata.
Dalam catatan sejarah selama kurun waktu 13 abad, hanya sekitar 200 kasus kriminal yang terjadi. Jika kita bandingakan dengan kasus hari ini, tentu sangat jauh. Islam berpandangan bahwa pelaksaan syariat Islam meniscayakan peran negara yang bukan sekedar sebagai regulator tetapi sebagai junnah (perisai) dan raa’in (pengurus rakyat). Dengan pemahaman inilah negara harus menjadi pihak terdepan menjaga dan melindungi rakyatnya dari segala marabahaya. Negara wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan asasi masyarakat seperti sandang, pangan, dan papan.
Menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki untuk mencari penghidupan bagi keluarganya, memberikan jaminan rasa aman, menyediakan akses pendidikan yang layak bagi seluruh warganya, masyarakat dididik dengan pemahaman yang benar dan dijauhkan dari pemikiran liberal yang serba bebas, memberikan layanan kesehatan yang berkualitas, dll. Negara juga akan mengintegralkan dan mensinergiskan berbagai peran seluruh pihak, baik orang tua, masyarakat maupun negara untuk saling bahu membahu mewujudkan kehidupan yang aman dan sejahtera dengan berkiblat pada hukum yang berasal dari Allah SWT yang menyediakan lapisan pengaturan, baik secara preventif maupun kuratif untuk mencegah berbagai tindak kriminal. Karenanya, kasus penculikan anak akan diminimalisir bahkan dinihilkan. Karena penjagaan dari seluruh lapisan masyarakat dan negara. Wallahu’alam bi Ash-Showab.
Oleh: Puput Hariyani, S.Si (Pendidik Generasi)