Parpol Islam Dan Perspektif Oposisi
Deddy Triyono
redaktur detaktangsel.com
Gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin.
Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai yang selama ini diagungkan. Bahkan, akan menimbulkan gejolak di kalangan yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial.
Gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan kepemimpinan dari tokoh penggerak. Adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut. Dalam kaitan ini, diktum oposisi bisa jadi terminologi yang relatif kurang familiar di telinga masyarakat, terlebih sikap oposan dilakukan partai politik Islam. Karena pendekatan keamanan yang diharapkan masyarakat menghendaki adanya keseragaman (dan penyeragaman) untuk mengkanalisasi polaritas ideologi serta pluralitas kemasyarakatan yang bersegi banyak ke dalam satu rumpun ideologi pembangunan.
Pilihan seperti ini pada segi tertentu dimaksudkan untuk menjawab persoalan stabilitas sosial-politik yang dinilai gagal disediakan oleh pemerintahan sebelumnya. Dalam mana kekuatan-kekuatan sosial-politik yang ada terfragmentasi secara luas dalam gugus-gugus kekuatan yang cukup rumit untuk dikompromikan satu sama lain. Sehingga tidak begitu kondusif bagi pelaksanaan pembangunan. Karakter pendekatan yang diorientasikan pada pencapaian stabilitas ini dimaksudkan untuk memberikan jalan mulus bagi upaya pembangunan ekonomi yang memang membutuhkan penanganan segera.
Gagasan perlunya menghidupkan kembali wacana oposisi loyal menjelang Pemilu Presiden 2014. Sejumlah partai politik (parpol) termasuk yang berbasis Islam merespons gagasan tersebut. Namun, semata-mata untuk alat bargaining position.
Oposisi merupakan subkultur dari tradisi demokrasi. Artinya, dalam suatu masyarakat, oposisi merupakan suatu kenyataan yang tak terpungkiri. Jika oposisi tidak diakui, yang terjadi adalah mekanisme saling mencurigai dan oposisi dianggap sebagai ancaman. Bila hal ini dibiarkan terjadi, maka dipastikan akan terjadi peningkatan rasa saling curiga, dan makin tingginya ancaman.
Implikasinya, timbul nafsu beroposisi yang hanya untuk menjatuhkan pemerintah. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah mekanisme oposisi kepada kebijakan-kebijakan pemerintah, tapi tetap loyal pada negara dan cita-cita bersama.
Mekanisme inilah yang harus diwujudkan untuk mengantisipasi terjadinya oposisi yang sekadar oposan yang lebih berdampak negatif. Pendeknya, oposisi tidak hanya to oppose, melainkan juga to support.
Prinsip atau esensi oposisi loyal ini adalah check and balance. Di alam demokrasi yang sehat, diperlukan adanya kekuatan pemantau dan pengimbang. Sebab, diyakini pula bahwa tidak seorang pun yang mampu merangkum kebenaran mutlak pada dirinya. Maka, harus ada cara untuk saling mengingatkan apa yang tidak baik dan tidak benar.
Ini penting untuk menjawab asumsi bahwa pemegang kekuasaan selama ini merasa mempunyai wewenang untuk menafsirkan sendiri undang-undang tanpa konfirmasi secara legal dan formal, sehingga subyektivitas pasti akan muncul.
Beroposisi politik berarti melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru. Ketika kekuasaan menjalani kekeliruan, oposisi berfungsi mengabarkan kekeliruan itu. Sebaliknya, ketika kekuasaan menjalankan fungsinya dengan benar, maka tugas oposisi adalah membangun kesadaran aksi publik untuk meminta kelanjutan dan konsistensi dari praktik kebenaran itu.
Isu-isu tentang berbagai hal menyangkut hubungan warga dengan negara juga layak untuk dijadikan preferensi politik. Sehingga di satu sisi, aktivisme politik Islam tampil dalam wajah yang lebih universal dan rahmatan lil’alamin, dan di sisi yang lain, mengagregasikan bentuk-bentuk transformasi kultur politik dari ideologi ke rasionalitas politik dan demokrasi.
Upaya tersebut pada segi yang lain juga berfungsi untuk memberikan fondasi bagi konstruk baru kepolitikan Islam yang dibangun di atas concern (keprihatinan) terhadap berbagai kebutuhan yang hidup dan menyejarah dalam masyarakat. Citra negatif kepolitikan Islam yang seringkali muncul sebagai akibat pencitraan kepedulian para aktivis politik Muslim hanya menyangkut hal-hal yang berkait langsung dengan eksistensi Islam di aras negara dan masyarakat juga perlu perenungan lebih lanjut.
Konotasi negatif tentang kepedulian semata menyangkut formalisasi syariat Islam yang kurang diimbangi dengan sensitivitas menyangkut isu-issu pelayanan publik justeru akan mempersempit ruang resonansi kepolitikan Islam. Dan tidak itu saja, secara normatif preferensi politik tersebut berantitesa dengan cita-cita ideal Islam untuk mewujudkan public good dalam spektrum masyarakat yang lebih luas.
Dari sini muncul satu kebutuhan perlunya kepolitikan Islam merancang ulang perwajahan dan concernnya di hadapan fakta kebutuhan masyarakat akan public good. Definisi publik tentang kepolitikan Islam yang seringkali parochial semestinya dipugar dan selanjutnya diorientasikan pada pembentukan kultur kepolitikan yang beroposisi terhadap berbagai isu ketimpangan dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Pergeseran karakter kepolitikan Islam dari coraknya yang ideologis dan parochial menuju ke bentuk-bentuk politik yang demokratis dan universal ini dalam universum kebangsaan akan memberikan energi yang efektif bagi upaya membangun kultur politik yang demokratis. Yakni sebuah fatsoen politik yang berpijak pada visi humanitas yang luhur yang menempatkan diri sebagai instrumen kemahabijaksanaan Tuhan untuk mengawal proses-proses politik yang ada.
Kejayaan sebuah peradaban, mau tidak mau membutuhkan prasyarat yang tidak ringan. Namun, sejarah pun bukanlah proses yang bersifat deterministik, artinya ia bisa saja berubah menurut yang tidak mampu kita perkiraan. Dengan demikian, siapkah umat Islam menyongsong masa depan yang lebih baik? Ini sangat tergantung pada kita semua. Wallahu’alam. o