Kebudayaan Tiong Hoa di Tengah Marginalsasi Budaya Heterogen Tangsel
Detaktangsel.com, OPINI -- Komunitas Tiong Hoa adalah merupakan salah satu komunitas tertua yang ada di Tangerang Selatan. Keberadaan mereka setidaknya sudah teridentifikasi jauh sebelum pecahnya perang Banten-VOC 27 Desember 1601 di Angke Tangerang.
Menurut kitab sejarah Sunda; "Tina Layang Parahyang" (Catatan dari Parahyangan), keberadaan komunitas Tionghoa di Tangerang dan Batavia sudah ada setidak-tidaknya sejak 1407 NI. Kitab ini menceritakan tentang mendaratnya rombongan pertama dari dataran Tiongkok yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga.
Namun bagaimana warga Tiong Hoa bisa berada di Tangsel? Ada beberapa kemungkinan penyebabnya. Pertama peristiwa 'Geger Pacinan' di tahun 1470 yang menyebabkan banyak warga Tiong Hoa yang mengungsi ke wilayah hulu sungai Tjisadane, dan kemudian konflik horisontal penduduk dng warga Tiong Hoa, 23 Juni 1946 yg banyak menelan korban jiwa dan harta benda. Seperti yang di tulis Rosihan Anwar dalam harian Merdeka 13 Juni 1946 yang mana pada saat itu hubungan warga Tionghoa Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Pao An Tui, kelompok pemuda Tionghoa Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Tionghoa Benteng yang selamat ke Batavia.
Tapi terlepas dari semua peristiwa tersebut, tanpa kita sadari pembauran budaya Tiong Hoa dengan masyarakat lokal Betawi melahirkan proses similasi budaya baru.
Kita tak bisa menutup mata jika keberadaan komunitas Tiong Hoa di Tangsel memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan bidang kebudayaan. Mulai dari budaya tarianya, seni pertunjukan, seni musik, sampai merambah ke tata busana sehari2 dan pakaian adat pengantin serta ciri linguistik masyarakatnya mempengaruhi budaya lokal yang sudah ada.
Semisal contoh tari cokek, musik gambang kromong, baju koko, pakaian pengantin wanita Betawi dari atas kepala sampai ke ujung kaki, ondel-ondel, sampai ke kosa kata: elu-gue, encang-encing, jigo, gocap, cepe, pego, goban, seceng, dst...adalah merupakan praktek budaya Tiong Hoa yang di comot masyarakat Betawi lalu dimasukan dalam praktek2 budaya sehari2 masyarakatnya.
Ironisnya, kedekatan budaya tersebut berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakat Tiong Hoa sehari-hari dengan masyarakat Betawi sekarang. Terkesan ada kesenjangan sosial di antara ke dua kebudayaan tersebut. Yang satunya enggan membuka diri dan yang satunya lagi seolah tak mau peduli. Seperti tak ada hubungan emosional yang terjalin erat di antara ke dua budaya tersebut di masa lampau. Padahal jika kita mau jujur, terlepas dari banyak konflik yang ditimbulkan pasca peristiwa 1470 dan 1946, kehadiran Etnis Tiong Hoa di Indonesia tidak dalam rangka penguasaan atau penaklukan wilayah akan halnya orang2 Eropa Belanda dan Portugis. Mereka datang sebagai pedagang dan pengusaha2 perkebunan yang mempekerjakan banyak masyarakat pribumi lokal.
Lantas apa yang menyebabkan masyarakat Tiong Hoa belakangan terkesan menutup diri dan enggan membuka ruang sosialisasi dengan pribumi dibandingkan dengan suku-suku pendatang baru yang dengan cepat membaur di tengah masyarakat Tangsel? Padahal etnis Tiong Hoa dapat dikatakan sebagai masyarakat pribumi Tangerang Selatan.
Kemungkinan ada beberapa faktor penyebabnya. Di antaranya peristiwa kelam masa lalu etnis Tiong Hoa yang ber jilid-jilid. Di tambah lagi dengan peraturan pemerintah tentang hak kewarganegaraan Tiong Hoa mengenai Kewarganegaraan Ganda (Agreement on the Issue of Dual Nationality between the Republic of Indonesia and the People's Republic of China 1955).
Belum lagi stigma yang bangun di tengah masyarakat jika Etnis Tiong Hoa adl orang-orang yang memiliki harta yang mumpuni (kaya + pelit). Padahal tidak tidak demikian halnya. Bahkan masih banyak warga Tiong Hoa yang hidup di bawah garis kemiskinan yang bersusah payah bangkit membangun ekonomi keluarganya.
Hal-hal tersebutlah yang kemudian diduga menjadi penyebab marginalisasi budaya Tiong Hoa di tengah heterogenya masyarakat Tangsel dewasa kini.
Tentunya hal ini tak bisa didiamkan berlarut-larut. Harus ada langkah-langkah positif yang di bangun oleh pemerintah dalam rangka mengembalikan pengaruh kebudayaan Tiong Hoa masa lalu dengan masyarakat lokal agar tercipta harmonisasi yang indah dalam akulturasi budaya Betawi dan Tiong Hoa seperti sedia kala. Di samping tokoh2 budaya dan masyarakat di antara kedua etnis pribumi tersebut membangun kembali silaturahmi yang intens dan komperhensif dalam berbagai kegiatan sosial di tengah masyarakat Tangsel yang heterogen, agar tercipta rasa persaudaraan yang erat di antara sesama anak bangsa demi menuju Tangsel yang Cerdas Modern Religius...
Wallahu a'lam bishawab
Semoga Manfaat
Padepokan Roemah Boemi Pamoelang
25 Agustus 2022
Oleh: Agam Pamungkas Lubah