Indonesia Butuh Pemimpin Berkualitas
JAKARTA-Kepemimpinan nasional yang berkualitas merupakan kunci keberhasilan dan sekaligus kemajuan suatu bangsa dalam mengimplementasikan cita-cita bersama.
“Jadi, kepemimpinan nasional memiliki tantangan-tantangan besar dengan berbagai aspek dan dimensinya,” kata Ketua MPR RI Sidarto Danusubroto saat membuka seminar “Reformasi Model GBHN dan Kepemimpinan Nasional” kerjasama MPR RI, Persatuan Wartawan Indoensia (PWI), dan Universitas Pancasila di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Selasa (3/12)
Menurut Ajudan Bung Karno ini, dalam konteks ke-Indonesiaan, bangsa Indonesia membutuhkan kepemimpinan nasional yang mampu mengantarkan bangsa ini kepada tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 45 1945.
“Tantangan kepemimpinan nasional pun tidak terlepas dari berbagai tantangan bangsa dan negara Indonesia yang kompleks dan berkelanjutan,” tambahnya
Menurut Sidarto, harapan akan regenerasi kepemimpinan nasional itu tidak harus diartikan sebagai sebuah langkah kritis bernuansa politis mengoreksi kepemimpinan yang telah, dan sedang berkuasa.
Regenerasi selalu merupakan sebuah proses alamiah, sambungnya, karena ini suatu keniscayaan, dan sesuatu yang imperatif, tapi regenerasi juga bisa berarti memunculkan harapan-harapan baru yang memungkinkan untuk mendorong akan terjadinya perubahan yang lebih menjanjikan bagi kemajuan bangsa dan negara.
Karena itu Sidarto mengajak menyontoh tradisi bangsa Jepang, China dan lain-lain yang mempunyai karakter sendiri dalam berbangsa dan bernegara. “Mereka itu sudah diajarkan disiplin sejak kecil, menghormati dan sopan terhadap yang tua dan guru, sehingga meski tinggal di Amerika Serikat tak akan larut dengan ke-Amerika-annya. Jepang dan China termasuk 20 negara yang paling sopan dan menghormati guru,” ujarnya.
Dirinya, kata kata Sidarto, bangga dengan kepemimpinan Jepang dan China, di mana anak-anak sekolah di kedua negara itu hanya dengan naik sepeda ontel atau naik ojek. “Anak-anak di sana dilarang membawa mobil, apalagi BMW. Ketika terjadi ledakan nuklir Fukusima tak ada yang namanya penjarahan. Tapi, kita sebaliknya meski sebagai negara berke-Tuhan-an, namun korupsi dan pungli makin merajalela. Jadi, mereka itu lebih berKetuhanan dalam bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” pungkasnya. **cea