Politik Sastra vs Kritikus Sastra
Detaktangsel.com Kenapa tema di atas saya pilih? Yah, memasuki tahun politik seperti sekarang ini banyak hal yang bisa di kait-kaitkan dengan politik. Baik itu soal kebijakan, prilaku bermasyarakat dan tata cara berkomunikasi dengan lingkungan. Hampir semua aspek prilaku orang per orang disikapi dengan nuansa politik. Bahkan yang lebih parahnya lagi apabila orang tersebut diketahui memiliki kedekatan hubungan emosional yang baik dengan salah satu kandidat, maka dipastikan yang bersangkutan akan menjadi sasaran empuk bagi lawan-lawannya untuk dikritisi habis-habisan dan dikuliti sampai lecet setiap ucapan dan perkataannya. Tak peduli lawan bicaranya tua ataupun muda. Sehat ataupun sakit. Demi untuk mendapatkan sebuah pengakuan publik kalau dirinyalah yang paling benar...Tapi sudahlah, makanya dalam tema yang saya pilih kali ini agak sedikit anti mainstream. Saya memilih Politik Sastra vs Kritikus Sastra sebagai isyu pengganti Politik Praktis biar sedikit adem meski terkesan satire.
Apa itu Politik Sastra dan Kritikus Sastra? Yah, gak jauh-jauh bedalah dengan politik-politik lainnya. Hanya saja Politik Sastra berkaitan dengan kritikus sastra itu sendiri. Semisal seseorang ingin mengatakan "inilah karya saya" yang semakna dengan "inilah saya". "Here I Am! Mau apa lo! (kira-kira seperti itu lah).
Tapi secara garis besar Politik Sastra adalah tulisan-tulisan yang penuh polemik dan terkadang provokatif. Secara terang-terangan ia menyangsikan pengetahuan orang yang diserangnya sehingga orang yang diserangnya malu hati lantas ogah nulis. Alias ngepeeeer...
Untuk itulah dalam menangkal aksi dari 'Politik Sastra' yang berlebihan itu sendiri maka dibutuhkan 'Kritikus Sastra' yang diharapkan mampu menjadi filter setiap prodak sastra yang lahir baik itu dari penyair maupun rezim yang berkuasa saat itu.
Sampai di sini kita bertanya, perlukah adanya 'kritikus' dalam setiap prodak sastra yang akan dilahirkan? Semisal Puisi? Saya jawab, tentu perlu. Tapi kritikus yang dimaksudkan di sini adalah kritikus yang smart dan bernas. Bukan asal kritik...
Kritikus yang baik adalah dalam mendekati atau menganalisis setiap karya sastra yang lahir, yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan melakukan pembacaan secara mikroskopik terhadap karya sastra. Jangan langsung menuding karya sastra itu jelek atau tak substansi alias 'ngaco'. Tak bijak juga rasanya jika demikian.
Metode mikroskopik atau yang dikenal dengan istilah Close Reading merupakan metode pembacaan terhadap karya sastra yang berusaha mencermati karya sastra dengan teliti dan mendetail. Ini bertujuan agar tak ada satu pun bagian dari karya sastra yang sedang diamati terlepas dari pengamatan, sebab semua bagian dalam karya sastra, sekecil apa pun bagian tersebut, merupakan bagian yang tidak mungkin dipisahkan.
Pembacaan secara close reading membuat karya sastra menjadi hidup, menjadi konkret (concret) dalam benak pembaca. Selain itu, pembacaan dengan metode ini membuat analisis menemukan tekanannya pada kerja yang bersifat empirik, karena ia melakukan observasi langsung terhadap teks dan bukan hal-hal di luar teks.
Kritikus juga mengandaikan adanya empirisme dan konkretisasi dalam melakukan pendekatannya atau kerja analisisnya terhadap satu karya sastra. Sehingga si penyair merasa puas dengan analisis dan kritikanya. Merasa ter'orang'i dan ingin terus berkarya meskipun d bantai berkali-kali...
Saya ingin mengingatkan juga bahwa puisi bukanlah semata soal bentuk, suatu cara menyusun kata, di dalam puisi. Tapi puisi adalah soal makna dari kata-kata yang ditimbulkan dari cara menyusun puisi. Yakni bentuk dan isi sebagaimana di dalam genre sastra lainnya adalah soal roh dan badanya. Atau semacam sperma dng indung telurnya.
Karena itulah pembacaan saya terhadap puisi, tidak terutama di tujukan kepada kehendak sang penyair untuk keluar dari sebuah tradisi penulisan puisi, baik bentuk maupun temanya. Kalau saya menemukan bentuk dan tema puisi yang oposit, maka itulah saat di mana saya seolah melihat sebuah pagi yang lain, dari matahari yang lain. Tapi tetap : pagi dan matahari yang lain itu, bukanlah datang dari bentuk dan isi puisi, tapi dari makna yang ditimbulkan oleh totalitas puisi itu sendiri.
Serupa akan halnya dalam menyikapi situasi pesta demokrasi (pilkada) yg sebentar lagi akan dihelat diberbagai Kabupaten Kota penjuru tanah air. Beragam strategi disiapkan tim Sukses kandidat guna memenangkan jagoannya. Seiring itu pula bermunculan Politikus,Kritikus,Simpatisan dan Tim Sukses untuk meramaikan bumbu2 Pilkada. Mereka semua berjibaku bahu membahu meski tak sebahu dng strateginya masing2. Beragam siasat di adon dalam satu kemasan bagaimana agar barang dagangannya laku terjual. Tentunya hal ini sangat menggembirakan bagi masyarakat. Karena mereka memiliki kesempatan memilih prodak mana yg mereka sukai sesuai dng selera dan kantong masing2. Tak mungkin kita memaksakan masyarakat menyukai jeruk dengan rasa coklat. Jeruk adalah jeruk, coklat adalah coklat. Bukankah demikian?
Nah, pada bagian inilah dibutuhkan kepiawayan para Politikus,Kritikus,Simpatisan dan Tim Sukses untuk merubah paradigma tersebut menjadi sesuatu yg lebih bernas. Bukankah rasa jeruk dan coklat hanya sebatas pada lidah semata, dan setelah memasuki lambung semuanya menjadi sama dng hasil dan output yg sama pula?
Sayangnya pada proses pencernaan inilah yg terkadang banyak diabaikan para Politikus,Kritikus,Simpatisan dan Tim Sukses. Mereka lebih cendrung memikirkan bagaimana memaksakan masyarakat untuk menikmati jeruk dengan rasa coklat. Disibukkan dng hal2 mubasir yg terkadang kontra produktif dng keinginan jagoannya yg ingin menang dalam pertarungan. Bahkan terkadang di antara sesama saling menghujat, saling menjatuhkan calon lawan agar jagoanya bisa meraih podium kekuasaan dan bertahta di atas singasana yg dibangun dari hasil mengucilkan/memfitnah lawan tandingnya. Tanpa pernah berpikir jika masyarakat sekarang telah cerdas dlm menyikapi hal2 yg imposible.
Mengapa tidak kita meminjam metode pembacaan secara mikroskopik atau yg dikenal dalam dunia sastra, 'Close Reading' dlm strategi memenangkan jagoan kita? Bukankah Close Reading adl sebuah cara yg bijak dalam meniliti secara detail apa yg menjadi kemauan masyarakat dan calon pemimpinnya. Karna metode ini membuat analisis menemukan tekanannya pada kerja yang bersifat empirik, karena ia melakukan observasi langsung terhadap teks dan bukan hal-hal di luar teks. Seperti mengabaikan jeruk dan coklat ketika belum memasuki rongga mulut kita. Karena pada hakekatnya semua menjadi sama ketika berada di lambung kita...
Ah, tapi sudahlah. Saya skg tengah membahas Politik Sastra dan Kritikus Sastra. Tinggalkan soal Pilkada teman. Kita kembali ke laptop.
Begitulah sekiranya saya dalam menyikapi 'Politik Sastra vs Kritikus Sastra'. Sastra harus terlahir dari sebuah perenungan panjang dan terukur. Sedang Kritikus harus melakukan observasi yang cermat dan mendalam. Sehingga semua produk yang terlahir dari sebuah kebijakan adalah hasil dari kolaborasi yang baik antara semua elemen dan memberi manfaat buat orang banyak...
Semoga tulisan saya sore ini dapat mengilhami situasi Politik Pilkada 2020 mendatang. Khususnya di Kota Tangerang Selatan yang saya cintai. Selamat berjuang dan berkarya. Semoga Allah swt meridhoi upaya yang kita lakukan untuk kemaslahatan orang banyak.