SOLUSI PENANGANAN PENYAKIT MENULAR DI KOTA TANGSEL
detaktangsel.comTANGSEL - Kota Tangerang Selatan sebagai daerah otonomi baru hasil pemekaran dari Kabupaten Tangerang sejak enam tahun lalu menjelma menjadi kawasan metropolitan yang modern, sekaligus menjadi tujuan investasi di berbagai bidang, terutama property, jasa dan perdagangan.
Perkembangan dan kemajuan Kota Tangsel paralel dengan pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi dan padatnya pemukiman. Akibatnya, Kota Tangsel harus bersiap-siap menerima dampak positif dan menanggung dampak negatifnya sebagai efek domino. Salah satu dampak negatif yang mungkin muncul secara menonjol adalah timbulnya berbagai wabah penyakit di masyarakat, baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular.
Wali Kota Tangsel Hj Airin Rachmi Diany menjelaskan, dalam strategi penanggulangan penyakit menular di Kota Tangsel, pihaknya menangani delapan kasus jenis penyakit menular, yaitu Tuberkulosis (TB), HIV, Aids, Kusta, Filariar, Diare, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa), penyakit yang diakibatkan karena bencana alam, dan Penyakit Tidak Menular (PTM).
Dijelaskan Wali Kota, dari delapan jenis penyakit menular tersebut, posisi penyakit menular tiga besar adalah TB, HIV, dan Kusta yang sering membuat masyarakat resah. "Dalam penanganan penyakit tatanannya harus terstruktur/terorganisir," ungkapnya.
Dalam penanganan penyakit TB misalnya, pola penanganan menggunakan system Directly, Observed, Treatment Short-Course (DOTS), yakni pengawasan langsung pengobatan jangka pendek, yang kalau kita jabarkan pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk direct attention dalam usaha menemukan penderita dengan kata lain mendeteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskop.
Kemudian setiap penderita harus di-observed dalam mengonsumsi obat. Setiap obat yang ditelan penderita harus di depan seorang pengawas. Selain itu tentunya penderita harus menerima treatment yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang cukup.
Selanjutnya, setiap penderita harus mendapat obat yang baik, artinya pengobatan harus sesuai short course standard yang telah terbukti ampuh secara klinis. Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program penanggulangan tuberkulosis mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dulunya bernama Consumption atau Pthisis dan semula dianggap sebagai penyakit turunan. Barulah Leannec (1819) yang pertama-tama menyatakan bahwa penyakit ini suatu infeksi kronik, dan Koch (1882) dapat mengidentifikasikan kuman penyebabnya. Penyakit ini dinamakan tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle.
"Hampir seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya, tapi yang paling banyak adalah paru-paru," imbuhnya.
Penanganan penyakit Tuberculosis harus melalui Directly, Observed, Treatment Short-Course (DOTS), yakni pengawasan langsung pengobatan jangka pendek selama enam bulan. Menurut Wali Kota, dalam tatanan DOTS tersebut memerlukan adanya tenaga pengawas, ketersediaan obat yang cukup, pencatatan yang bagus, adanya komitmen penderita untuk berobat dan yang mengobati, serta pemeriksaan terhadap dahak penderita.
"Semua tatanan tersebut harus diikuti oleh seluruh sarana kesehatan yang ada di Tangsel. Dalam tatanan terorganisasi tersebut juga ada partisipasi masyarakat, sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyiyah Care dari Yayasan Penididikan Muhammadiyah. Aisyiah sudah bermitra dengan kami cukup lama," ungkap Wali Kota, Kamis (5/3/2015).
Penanganan penyakit menular menurut Airin harus dilakukan secara multisektoral. Artinya, semua sektor bergerak bersama, pada arah yang sama, dan menuju tujuan yang sama pula. Airin mencontohkan, dalam penanganan penyakit HIV, maka di samping dilakukan oleh pihak medis, juga perlu adanya langkah di bidang hukum. "Penyakit HIV itu berkolaborasi dengan narkotika. Jadi, kami tidak bisa bergerak sendiri, perlu mitra-mitra yang panjang, perlu biaya yang besar, dan perlu strategi yang tepat," paparnya.
Wali Kota menambahkan, dalam pengananan penyakit, maka diperlukan lima hal, yaitu terorganisir, lintas sektoral, preventif oriented, partisipasi masyarakat, dan spesifik area. Kelima hal tersebut menurutnya harus ada, sebagai kesatuan yang sangat penting.
Dalam penanganan penyakit (treatment) menurut Wali Kota, dapat dilakukan di setiap Puskesmas sebagai pelayanan dasar kesehatan. Karena di samping Puskesmas terdapat ketersediaan obat yang distribusikan langsung dari Dinas Kesehatan, juga sudah diberikan Bantuan Operasional Puskesmas (BOP).
"Treatment yang dapat dilakukan oleh Dinas Kesehatan adalah mensupport apa yang tidak bisa dilakukan oleh Puskesmas, di antaranya adalah pengadaan obat. Kalau sifatnya preventif, maka dapat dilakukan di Puskesmas, karena Puskesmas memiliki Bantuan Operasional Puskesmas," terang Wali Kota.
Airin menambahkan, bila terdapat pasien yang tidak berobat, atau dalam proses pengobatan, kemudian pasien di Puskesmas itu 'Lepas' atau terputus, maka pihak Puskesmas harus melacak keberadaan pasien dengan menggunakan dana operasional yang telah dialokasikan, serta menggunakan sumber daya yang ada. Karena sistem yang berlaku di Dinkes Tangsel adalah membagi wilayah kerja.
"Di Dinas Kesehatan terdiri dari tiga unit kerja, yakni yang bersifat administratif, supportif, dan pelayanan. Terkait dengan pelayanan itu ada di Puskesmas, dan kami melakukan supporting," jelasnya kepada detaktangsel.com.
Persoalan penanganan atau pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang menderita penyakit menular, sebagaimana kebijakan Pemerintah Kota Tangerang Selatan, disamping dilakukan oleh Puskesmas terdekat, dapat juga dilakukan di sarana kesehatan lainnya, seperti Klinik atau Rumah Sakit yang masyarakat percayai dalam tindakan pengobatan.
"Masyarakat boleh memilih sarana kesehatan yang mereka percayai. Yang penting standar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan standar yang diberlakukan oleh Kementerian Kesehatan RI dengan system DOTS. Karenanya, kepada seluruh sarana kesehatan non pemerintah, terutama yang bekerja sama dengan BPJS akan diberikan sertifikat DOTS dari Kementerian Kesehatan RI. Penangan penyakit menular tidak bisa ditangani dengan penanganan biasa, karena perlu keahlian dengan standar DOTS yang sudah diratifikasi oleh WHO," tegas Wali Kota Tangsel
Wali Kota mengakui, selama ini dalam penanganan penyakit TB di sarana kesehatan tidak semua menggunakan standar DOTS. Kondisi tersebut membahayakan bagi penderita. "Akan sangat berbahaya bila Puskesmas menerima pasien dari Klinik yang tidak menggunakan standar DOTS, maka Puskesmas akan melakukan hal Non program ke Program. Karenanya, semua sarana kesehatan harus berserifikat DOTS dan akan menggunakan system yang sama," paparnya.
Kemudian, sebagaimana dijelaskan Airin, untuk menyamakan system penanganan penyakit melalui pembinaan kader dan pelacakan terhadap suspect penyakit menular dilakukan oleh pihak Puskesmas dengan menggunakan anggaran Bantuan Operasional Puskesmas (BOP). Sedangkan, untuk koordiansi tingkat kota dilakukan oleh Dinkes. "Dalam tatanan kebijakan ada di Dinkes, sedangkan dalam tatanan identifikasi ada di Puskesmas," pungkasnya.
Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat mutlak menjadi keharusan setiap pemerintahan, baik di tingkat Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, maupun Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Secara nasional, target penanganan penderita penyakit menular khususnya, ditetapkan harus mencapai angka 85 persen, meskipun upaya yang dilakukan hingga mencapai 100 persen.
Sementara itu, Kepala Kesehatan Kota Tangerang Selatan Suharno mengatakan, penyakit menular pada posisi tiga besar yang meresahkan masyarakat adalah Tuberculosis (TB), HIV, dan Kusta. Selanjutnya, Suharno mengumpamakan, bila di suatu daerah memiliki warga hingga 200.000 orang yang terkena penyakit Tuberculosis (TB), maka terhadap suspect TB setidaknya harus terdata hingga 70 persen. Dari jumlah tersebut, menurut target nasional harus diberikan penanganan sampai sembuh hingga mencapai 85 persen.
"Meskipun target nasional 85 persen, tetapi upaya penanganan penyakit tersebut dilakukan secara optimal. Harapannya, bisa mencapai penyembuhan hingga 100 persen," jelas Kadinkes Tangsel
Dalam hal kerja sama penanganan penderita penyakit menular dengan pihak ketiga sebagaimana dilakukan dengan Aisyiyah Care, maka dengan pendekatan sektoral dilakukan oleh pihak Puskesmas dengan para relawan tentang bagaimana menggerakkan warga yang menderita sakit batuk berdahak (dan diduga menderita TB) hingga dua minggu lamanya untuk diajak memeriksakan dahaknya di Puskesmas.
"Sesampainya di Puskesmas, maka penderita akan ditangani dengan standar DOTS. Bila penderita tidak melakukan pengobatan, maka pihak Puskesmas ditugaskan untuk melakukan pelacakkan dengan SDM yang ada dan kader di lingkungan," imbuhnya.
Di Kota Tangerang Selatan menurut catatan Dinas Kesehatan, suspect penyakit TB mencapai 1.300 orang. Karenanya menurut Suharno, dalam hal penanganannya diperlukan kolaborasi pemerintah (Puskesmas) dengan relawan dari NGO, seperti Aisyiyah Care, Dewan Kesehatan, Aksi Cepat Tanggap (ACT), Forum Kota Sehat (FKS), dan lain-lain.
"Hasil survei dari Departemen Kesehatan, prevalensi penderita penyakit menular adalah Satu per Seribu (1 : 1000 orang). Sedangkan di Kota Tangsel prevalensinya adalah 117 per 100.000. Karena untuk jumlah jiwa tidak dimungkinkan dengan koma, maka kami bulatkan menjadi 1:1000," terangnya.
Dalam penanganan penyakit tersebut sebagimana diakui oleh Suharno, dari suspect TB sebanyak 1.300 jiwa, baru terdata mencapai 47 persen hingga 2014. Sementara target pendataan yang direncanakan sejumlah 70 persen. Kemudian dari 47 persen data, sebanyak 87 persen jiwa sudah ditangani.
(Advertorial Humas dan Publikasi Setda Kota Tangerang Selatan)