Sikap Caleg Elitis
detaktangsel.com - Penyelenggaraan pemilihan umum calon anggota legislatif (Pileg) dalam hitungan bulan, April mendatang. Tidak terasa kita akan mempunyai wakil rakyat produk baru. Juga dipastikan muka-muka lama tetap bertahan.
Seperti warga di kota lain, masyarakat Tangerang Selatan pun merespons dan mengapresiasi kehadiran calon legislatif (caleg). Sebaliknya para caleg getol dan semangat melakukan sosialisasi program juga pencitraan di tengah-tengah masyarakat.
Ada gula, ada semut. Peribahasa ini makin kental di kehidupan masyarakat pada saat ini, jelang penyelenggaraan pileg. Isu pileg menjadi 'santapan' sehari-hari, baik di perkampungan, warung kopi, dan tempat-tempat kongkouw.
Ada spanduk, banner, posko, serta bentuk alat kampanye lainnya terpasang yang tidak beraturan di sembarang tempat. Juga pesan yang disampaikan lewat alat kampanye sangat variatif. Yang jelas, substansi pesannya bernada sama. Bujuk rayuaan dan iming-iming kepada calon pemilih.
Masyarakat tidak merasa terganggu adanya pesan-pesan yang bersifat gombalisasi. Justru mereka memanfaatkan momentum ini menjadi 'lahan' mencari ampouw. Sedangkan caleg bersangkutan menyambut semangat calon pemilih yang menggerubutinya. Usai cuap-cuap, sang caleg merogoh segempok uang untuk dibagi-bagikan kepada calon pemilih yang diklaim pendukungnya.
Sangat aneh, Panwaslu tidak tajam penciumannya, pandangannya, dan pendengarannya. Sangat tidak heran pula bila caleg-caleg yang melakukan praktik politik uang lolos dari 'jeratan' hukum. Jadi sangat naif bila Panwaslu sangat mengharapkan laporan dari masyarakat soal praktik politik uang tersebut. Pasalnya, sebagian besar masyarakat, baik sebagai calon pemilih maupun pendukung caleg, lebih cenderung menutup-tutupi perilaku caleg bersagkutan terkait 'jatah' ampouw.
Perilaku caleg yang sedemikian rupa tentu erat hubungannya dengan sikap partai politik (parpol) hingga saat ini cenderung masih bergaya oligarki dan elitis. Bahkan beberapa di antaranya kental dengan kultur feodal. Kondisi itu dapat dilihat dari keputusan strategis parpol yang biasanya bergantung pada selera elit dengan mengabaikan kehendak arus bawah.
Di sejumlah kasus, proses pengambilan keputusan internal parpol dan kemauan pimpinan selalu menjadi penentu kendati bertentangan dengan aspirasi konstituennya. Keputusan pengurus pusat seringkali mengundang resistensi pengurus daerah, karena biasanya DPD dipaksa "mengamankan" keputusan DPP meskipun tidak sesuai dengan keadaan di daerah.
Peristiwa itu sebagai bukti bahwa komunikasi politik dalam tubuh parpol masih berjalan satu arah dan berpola top down. Dalam konteks itu, sudah saatnya parpol segera membenahi diri agar keluar dari kerangkeng oligarki dan elitisme.
Parpol semestinya tidak sekadar mempertebal ambisi memperluas kewenangan semata, yang kadangkala justru memerosotkan citra parpol di mata publik. Itu sebabnya, parpol dituntut untuk segera merumuskan ulang ideologi, visi-misi, dan program dengan spirit populisme. Setidaknya memperbaiki manajemen dan mekanisme kelembagaan dengan landasan prinsip demokrasi.
Melalui reformasi parpol diharapkan menjadi jawaban mengatasi problem ketidakpercayaan pemilih, sekaligus upaya pembuktian parpol sebagai motor demokrasi di masa mendatang. Kita, terutama elit politik memang sulit melepaskan diri dari paradigma ini. Makanya, para elit politik cenderung menempatkan diri sebagai seorang raja. Sehingga konstituen berada pada posisi lemah.
Fenomena ini tentu menjadi pekerjaan rumah para elit politik untuk menyatukan diri dengan konstituen. Dengan demikian, antara mereka tidak berjarak lagi dalam memperjuangkan hak-hak politik rakyat.
Kita harus membangun komunikasi sebaik-baiknya, tidak perlu salah menyalahkan. Makanya, pemerintah harus meneliti secara mendalam apa yang sudah dilaksanakan. Yang akan kita pilih nanti adalah pilihan yang tepat.