DPD Godok Pola Rekrutmen Guru Profesional
JAKARTA- Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI melalui Pansus Guru sedang menggodok proses rekrutmen mahasiswa calon guru, agar menghasilkan guru yang profesional di masa depan.
“Kita harus menyiapkan lembaga pendidikan calon guru baik infrastruktur maupun kurikulum, proses pendidikan calon guru, sistem rekrutmen guru, reward and punishment, dan perlindungan guru,” kata Ketua Pansus Guru DPD RI, Aidil Fitri Syah di Jakarta, Senin (21/10)
Menurut Aidil, hal itu akibat belum adanya lembaga khusus yang mengurus guru. Padahal UU No.14/2005 tentang guru dan dosen sudah menentukan guru adalah pendidik profesional, dan pendidikan dilaksanakan berdasarkan 9 prinsip, tapi sampai hari ini Kemendikbud belum menetapkan standarisasi sistem seleksi mahasiswa calon guru.
Ada 11 catatan pansus guru DPD RI yang mendasar yang akan diajukan ke pemerintah dan DPR RI. Yaitu, antara lain mulai seleksi mahasiswa calon guru, proses pendidikan calon guru, mahasiswa program profesi guru (PPG), pengangkatan tenaga honorer katagori K2, keberadaan tenaga honorer, sistem rekrutmen guru, beban mengajar guru, pengembangan profesi guru, upaya peningkatan layanan terhadap realisasi hak-hak guru, mendesain ulang proses pendidikan bagi calon guru, dan kebijakan terhadap sekolah swasta.
Menyinggung ribuan guru honorer non PNS yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia, Aidil menilai mereka bekerja dengan baik di sekolah swasta maupun negeri, dengan beban sama dengan PNS, tapi gajinya di bawah UMR yaitu Rp 175 ribu per bulan. “Sengaja atau tidak, pemerintah telah melanggar UU,” ujarnya.
Beban kerja guru juga dianggap tidak sesuai dengan UU, karena kerja guru mencakup kegiatan pokok serta melaksanakan tugas tambahan minimal 24 jam tatap muka dan maksimal 40 jam tatap muka selama satu minggu (pasal 35 ayat 1, dan pasal 2 tentang UU guru dan dosen. “Banyak tugas tambahan yang diabaikan seperti wali kelas, ekstra kurikuler, remidi, pengayaan, bursa kerja, kepramukaan dll,” katanya.
Selain itu, penugasan guru dengan pola mengajar mata pelajaran yang dikategorikan satu rumpun, selain bertentangan dengan bunyi pasal 8 dan 9 UU guru dan dosen, juga tidak sesuai dengan hakikat profesi guru. “Belum lagi guru berhadapan dengan anak nakal, kalau memukul dilaporkan ke polisi, maka guru bisa kehilangan semangat mengajar dan ini tak akan menghasilkan anak didik yang berkualitas,” pungkasnya. **cea
JAKARTA-Dewan Perwakilan daerah (DPD) RI melalui Pansus Guru sedang menggodok proses rekrutmen mahasiswa calon guru, agar menghasilkan guru yang profesional di masa depan.“Kita harus menyiapkan lembaga pendidikan calon guru baik infrastruktur maupun kurikulum, proses pendidikan calon guru, sistem rekrutmen guru, reward and punishment, dan perlindungan guru,” kata Ketua Pansus Guru DPD RI, Aidil Fitri Syah di Jakarta, Senin (21/10)
Menurut Aidil, hal itu akibat belum adanya lembaga khusus yang mengurus guru. Padahal UU No.14/2005 tentang guru dan dosen sudah menentukan guru adalah pendidik profesional, dan pendidikan dilaksanakan berdasarkan 9 prinsip, tapi sampai hari ini Kemendikbud belum menetapkan standarisasi sistem seleksi mahasiswa calon guru.
Ada 11 catatan pansus guru DPD RI yang mendasar yang akan diajukan ke pemerintah dan DPR RI. Yaitu, antara lain mulai seleksi mahasiswa calon guru, proses pendidikan calon guru, mahasiswa program profesi guru (PPG), pengangkatan tenaga honorer katagori K2, keberadaan tenaga honorer, sistem rekrutmen guru, beban mengajar guru, pengembangan profesi guru, upaya peningkatan layanan terhadap realisasi hak-hak guru, mendesain ulang proses pendidikan bagi calon guru, dan kebijakan terhadap sekolah swasta.
Menyinggung ribuan guru honorer non PNS yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia, Aidil menilai mereka bekerja dengan baik di sekolah swasta maupun negeri, dengan beban sama dengan PNS, tapi gajinya di bawah UMR yaitu Rp 175 ribu per bulan. “Sengaja atau tidak, pemerintah telah melanggar UU,” ujarnya.
Beban kerja guru juga dianggap tidak sesuai dengan UU, karena kerja guru mencakup kegiatan pokok serta melaksanakan tugas tambahan minimal 24 jam tatap muka dan maksimal 40 jam tatap muka selama satu minggu (pasal 35 ayat 1, dan pasal 2 tentang UU guru dan dosen. “Banyak tugas tambahan yang diabaikan seperti wali kelas, ekstra kurikuler, remidi, pengayaan, bursa kerja, kepramukaan dll,” katanya.
Selain itu, penugasan guru dengan pola mengajar mata pelajaran yang dikategorikan satu rumpun, selain bertentangan dengan bunyi pasal 8 dan 9 UU guru dan dosen, juga tidak sesuai dengan hakikat profesi guru. “Belum lagi guru berhadapan dengan anak nakal, kalau memukul dilaporkan ke polisi, maka guru bisa kehilangan semangat mengajar dan ini tak akan menghasilkan anak didik yang berkualitas,” pungkasnya. **cea