Kampanye Sekadar Unjuk Atraksi Massa
detaktangsel.com- EDITORIAL, Penyelenggaraan pemilihan umum calon anggota legislatif (Plileg) 2014 memasuk tahap kampanye terbuka. Di putaran pertama, kalangan partai politik peserta Pileg 2014 cenderung menawarkan jasa dan janji manis.
Sementara pola pikir masyarakat semakin matang. Sehingga materi kampanye yang disuguhkan membuat masyarakat tidak yakin sepenuhnya dengan kesungguhan partai politik mewujudkan janjinya kelak.
Pada putaran kampanye terbuka, kita hanya menonton dan menyoroti perilaku politik massa. Tampaknya hal yang menonjol lebih banyak terjadi sekadar pagelaran atraksi massa. Misalnya, konvoi kendaraan bermotor di jalan raya. Sehinggaa hanya terlihat sifat kekanak-kanakan dari peserta pemilu dalam upaya membentuk opini politik.
Seharusnya kampanye terbuka memiliki relevansi dan arti sangat strategis untuk mobilisasi mesin partai secara massif.
Selain itu, untuk merebut simpati pemilih rasional dan massa mengambang. Sedangkan kampanye tertutup memiliki pengaruh yang relatif terbatas untuk membangkitkan militansi kader partai, pencitraan, dan pembentukan opini publik.
Pendek kata, kampanye terbuka merupakan momentum bagi peserta pemilu untuk secara internal menggerakkan mesin partai secara optimal. Secara eksternal merebut suara dari para pemilih yang belum menentukan pilihannya.
Melalui pengorganisasian kampanye terbuka dan rapat umum, aktivis partai politik di berbagai tingkatan dipaksa untuk bergerak melakukan koordinasi dan memobilisasi jaringan konstituen. Dengan demikian, harga diri pengurus partai politik sangat dipertaruhkan dalam pengorganisasian kampanye terbuka.
Jumlah massa yang berhasil didatangkan merupakan parameter dari kinerja partai. Pengurus partai sukses mendatangkan massa tentu saja akan naik pamornya di mata elit.
Ironisnya, kerap kali kemeriahan acara dan membludaknya peserta kampanye terbuka tidak berbanding lurus dengan perolehan suara. Kampanye terbuka dan rapat umum juga menjadi ajang pamer kekuatan kualitas para kader.
Rapat umum terbuka semestinya dapat menjelma menjadi panggung politik bagi orator partai nan andal. Sehingga tidak hanya mampu membangkitkan militansi kader partai, bahkan mewarnai opini publik di masa kampanye melalui gagasan dan wacana yang untuk merebut simpati publik.
Hampir semua partai melanggar aturan kampanye. Yang paling dominan adalah mengikutsertakan anak-anak di bawah usia tujuh tahun.
Beberapa pengurus partai tampak sengaja menyuruh anak-anak usia sekolah berkeliling kampung sambil membawa bendera partai di sepeda masing-masing. Mereka juga diharuskan meneriakkan yel-yel setelah menerima kaos sambil mengibarkan bendera.
Untuk mengembangkan sistim politik yang demokratis, khususnya dalam penyelenggaraan pemilu yang berkualitas perlu ditopang, dilandasi, dan diekspresikan melalui nilai-nilai kesantunan nasional yang berisi sportivitas serta menghargai perbedaan. Santun dalam berperilaku, mengutamakan keharmonisan, kedamaian, kerukunan, dan antikekerasan.
Semestinya pemilu menjadi klimaks dari rangkaian proses demokratisasi. Kekurangmatangan budaya politik menjadikan kondisi di Indonesia menjadi berbeda. Sebaik apa pun aturannya, pelaksanaan di lapangan masih ditentukan faktor lain, seperti peranan elit peserta pemilu, peranan uang dalam pemilu maupun aturan perundangannya sendiri yang multitafsir.
Belajar dari beberapa kali pengalaman pemilu, titik rawan terjadinya kekacauan dikarenakan tidak mampunya elit politik dalam mengendalikan massa simpatisan. Dengan demikian, sikap kasar yang sering terlihat dilakukan para konstituen terhadap partai politik lain atau penodaan dan pelecehan terhadap simbol partai lain tidak terjadi.
Demi mencegah terjadinya hal itu, elit politik harus sanggup memberikan contoh yang baik selama pelaksanaan pemilu dan pascapemilu. Itu sebabnya, elit politik harus dapat menjadi panutan dalam menjalankan aktivitas politik, baik pada masa kampanye, pada masa pelaksanaan maupun pascapelaksanaan pemilu.
Terwujudnya kondisi pemilu yang aman merupakan ujian kepemimpinan bagi elit partai untuk mementingkan kedamaian dan ketenteraman yang menjadi hak seluruh masyarakat. Juga merupakan kepentingan umum yang selayaknya dikedepankan.
Sedangkan pemerintah sebagai pemegang otoritas penyelenggaraan negara berkewajiban untuk menjamin terciptanya situasi sosial yang aman dan tenteram.
Suasana pemilu dinilai banyak kalangan memiliki banyak sekali kelemahan. Namun, aparat keamanan pemerintah harus mampu mencegah dan menindak setiap tindakan yang dilakukan individu ataupun kelompok yang dapat mengganggu stabilitas pelaksanaan pemilu dan keamanan sosial.
Karena pemilu hanya merupakan bagian dari kehidupan sosial bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tidak sewajarnya jika pesta demokrasi menimbulkan kerusakan sistem sosial dan pranata kehidupan bermasyarakat. (red)