Pernikahan Dini, Blunder Kapitalisme Menangani Problem Generasi
Detaktangsel.com, OPINI - Pernikahan merupakan tuntunan agama dalam menjaga fitrah manusia, yakni melestarikan keturunan yang benar menurut hukum Allah SWT dan hukum negara.
Pernikahan juga menjadi salah satu jalan bagi seorang muslim mencapai ridho Allah SWT menuju surgaNya. Di samping itu, pernikahan yang disandarkan pada syariat Islam, semestinya akan menjadikan hidup penuh ketenangan (sakinah), ketentraman (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Melalui pernikahan inilah akan lahir generasi shalih-shalihah yang harapannya mampu menjadi dambaan umat. Sebagaimana doa yang termaktub dalam surat Al Furqon ayat 74, yang artinya “Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
Namun hari ini, banyak pernikahan yang tidak dilandasi kesiapan dan keilmuan yang cukup, sebagaimana pernikahan dini yang marak diperbincangkan.
Fakta Pernikahan Dini menurut World Health Orgazation (WHO), pernikahan dini (early married) adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah usia 19 tahun. Sementara menurut perspektif undang-undang di Indonesia, berdasarkan beberapa revisi UU RI Nomor 1 Tahun 1974, usia laki-laki minimal 19 tahun, sedangkan usia perempuan minimak 16 tahun.
UU RI No 16 Tahun 2019 menyebut bahwa usia minimal untuk menikah usia 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Aturan ini dinilai sudah cukup sesuai dengan ketentuan Kementrian PPPA dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yang disebutkan bahwa kategori anak adalah mereka yang usianya dibawah 18 tahun. Mengacu pada definisi tersebut, maka kita bisa saksikan masih banyak fakta tentang pernikahan dini yang terjadi. Kasus pernikahan anak ini bisa dilihat dari data dispensasi perkawinan yang diputus oleh Badan Peradilan Agama. Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah, meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan.
Berdasarkan data Badan Peradilan Agama (Badilag), secara nasional dispensasi nikah sejak enam (6) tahun terakhir, trendnya masih cukup tinggi meski terdapat sedikit penurunan di beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2016, terdapat 11.488 dispensasi perkawinan yang diputus. Sementara, pada tahun berikutnya 2017 terdapat 12.557 kasus, tahun 2018 terdapat 13.489 kasus, tahun 2019 terdapat 23.145 kasus, dan tahun 2020 melonjak sangat dahsyat mencapai 63.382 kasus, tahun 2021 terdapat 61.449 kasus dan tahun 2022 terdapat 50.673. Meskipun mengalami penurunan, tetapi tidak signifikan sebagaimana lonjakan di tahun-tahun sebelumnya.
Oleh: Puput Hariyani, S.Si