"Bunderan Pamulang" Sejarah, dan Perkembangannya
Detaktangsel.com OPINI -- Bicara tentang Bunderan Pamulang bikin suasana hati kek gimanaaa gitu... Sama halnya nyeruput kopi di sore hari yang gak habis habis dinikmati karena bercampur dengan aroma senja, jingga, merah, kuning dan kelabu. Macam pelangi gitulah. Enak dilihat disentuh gak bisa bisa. Yang ada kita hanya bisa nikmati sampai kemudian pelan pelan warnanya lindap seperti lesitnya waktu menuju malam. Ahaayy daaah...
Kita patut memberikan apresiasi kepada Bapak Gubernur Banten yang ternyata peka dengan aspirasi masyarakat yang mana meminta agar Bunderan Pamulang kembali ditata sebagaimana mestinya. Meski terlebih dahulu menuai protes dan reaksi masyarakat dan netizen mengenai design yang dianggapnya kurang memiliki nilai-nilai estetika dan etika sebuah monumen yang dipajang di jantung pusat Kota Pamulang, tapi setidaknya hadiah total 20Jt bagi pemenang Sayembara desaign Monumen Pamulang memberi sedikit ruang pencerahan bagi masyarakat dan insan seni yang haus akan ide2 kreatif dan inofatif demi kemajuan wilayahnya. Dan hasilnya, Woow...amazing. Seperti yang sahabat liat sekarang. Sebuah desain dng arsistektur yg ciamik dipadu unsur kelokalan yang malu-malu di antara ornamen Banten yang dominan.
Sungguh tak ternayangkan..nun 16th yang lalu tepatnya th 2004, lambung yang sudah sering naik asamnya ini beberapa kali melakukan pergerakan. Memimpin aksi protes mengusir estetika bangunan yang tak semestinya berkenaan dengan kehadiran Bunderan Pamulang yang mengusung iklan besar reklame rokok.
Mulai dari turun ke jalan sampai difasilitasi oleh fraksi Lintas 5 DPRD Kab.Tangerang (Bpk.H. Al Manysur) untuk duduk bersama bapak Bupati (Ismet Iskandar) selaku pemangku kebijakan saat itu. Tapi tetap belum menemukan titik temu yang diharapkan. Meski tawaran dari pak Hermansyah selaku Kadis DKPP saat itu lebih arif yakni Pembuatan Jam Kota, tapi masyarakat lebih memilih opsinya untuk Pembangunan Patung Ki Rebo yang mereka anggap sebagai leluhur mereka yang pertama kali membuka wilayah Pamulang.
Dengan menggalang aksi solidaritas masyarakat melalui tanda tangan seratus orang terdiri dari tokoh masyarakat, alim ulama, aktifis, akademisi dan delapan orang Lurah serta Camat di atas NIP dan jabatannya, tetap Bunderan Pamulang kokoh laksana karang tak tergoyahkan oleh ombak. Keinginan masyarakat untuk berdirinya Patung Ki Rebo menguap ke udara bercampur dengan keinginan pemerintah untuk berdirinya Jam Kota yang terkadang batrenya suka mati di tengah waktu yang bergerak pelan. Namun demikian Jam Kota pun berdiri necis dengan kemolekannya yang kontroversi di tengah keinginan masyarakat yang terkubur.
Meski berkali kali keluar masuk berurusan dengan birokrasi, keamanan, premanisme (orang suruhan) dan kekuasaan, Bunderan Pamulang tetaplah Bunderan Pamulang. Selalu menjanjikan orang untuk datang mengukir kisah dan bercerita tentang masa demi masa, babak demi babak akan sebuah hirarki yang buta akan Seni dan Budaya.
Bunderan Pamulang itu bisa jadi juga semacam 'Jailangkung'. Datang gak di undang, pulang gak diantar. Tau tau ada tau tau lenyap. Tanpa koordinasi dan sosialisasi dengan masyarakat tetiba 'sim sala bim...pim pim pong'. Langsung berdiri sesuatu yang mengejutkan masyarakat dan bukan sesuatu yang menakjubkan.
Dan seperti babak babak yang berlalu. Mulai dari yang tadinya hanya sebuah patok penanda arah Persimpangan, menuju ke iklan Reklame Rokok Besar, lalu berganti 'Jam Kota', setelah itu usulan warga 'Patung Ki Rebo', kemudian berganti rezim lagi menjadi usulan 'Patung Maulana Hasanudin, Syeh Maulana Yusuf', lalu itu sebuah air yang muncrat seperti pipis yang di tengahnya ada semacam space reklame tapi lebih sering digunakan sebagai tempat spanduk kegiatan ormas dan birokrat.
Namun dari semua bab tentang kisah dari Bunderan Pamulang itu, bab yang terahir inilah yang bikin saya merinding. Merinding entah napsu entah geli. Pasalnya kehadiranya menurut saya seperti fenomena akhir jaman meski beberapa orang sahabat saya mengatakan lebay.
Bayangkan coba, tau tau dijaman yang serba moderen ini, disebuah pusat keramaian kota atau jantung kota tepatnya, muncul sebuah patung yang berbentuk ular, spiral, torn air, dll asumsi masyarakat. Sama sekali tidak ada dalam literatur sejarah atau Hikayat Orang Pemulang. Apa itu bukan sebuah tanda tanda akhir jaman? O tidak, ternyata saya keliru, karena menurut pemerintah itu adalah sebuah monumen. What?! Monumen?
Ah coba itu...
Apa gak crazy men! Emangnya gak ada lagi anak muda atau design design kreatif Tangsel yang bisa merumuskan sebuah monumen yang lebih bernas, dan berangkat dari nilai nilai kearifan lokal orang Pemulang? Ataukah ada sahabat yang mampu mendeskripsikan nilai nilai etika dan estetika makna dari bentuk yang katanya Monumen tersebut? Atau ini memang yang disebut dengan kota Cerdas dan Modern itu...cik cik cik...
Saling melempar kesalahan antara Pemerintah Kota dan Provinsi. Masing-masing seolah terkejut dengan kehadiran Monumen itu. Wadidaoo! Para anggota legislatif pun buru-buru mengecamnya, bahkan Wakil Gubernur saja merasa kecolongan dan merasa tidak tau dengan kehadiran Monumen yang ada di Bunderan Pamulang tersebut. Nah, lo! Benarkan dugaan saya, kalau Monumen tersebut seperti, Jailangkung?
Benar benar kiamat sudah dekat. Dan itu dimulai dari Bunderan Pamulang kata bang Bagol, tukang ojek yang sering mangkal di seputaran bundaran yang tiap hari menatap lemas ujung monumen tersebut.
Sungguh satu babak dari kisah Bunderan Pamulang yang menggelikan dari kisah kisah sebelumnya. Semoga ke depannya Pemerintah lebih proaktif lagi dalam mendengarkan aspirasi rakyatnya. Melibatkan para stock holder yang paham akan urusan yang 'njelimet' ini. Jangan single fighter dan merasa memiliki kewenangan absolute. Agar babak dari kisah Bunderan2 yang ada di Tangsel yang akan direncanakan berdiri sebuah monumen berakhir dengan happy ending tanpa saling menyalahkan satu sama lainnya...
Wallahu a'alam bishawab
Semoga Manfaat
"Padepokan Roemah Boemi Pamoelang"
Pamulang, 07 April 2020
Oleh: Agam Pamungkas Lubah