Biar Nyaman, Larang Politisi Jabat Hakim MK
JAKARTA- Kalangan politisi diminta untuk tidak berambisi menduduki jabatan-jabatan di lembaga yudikatif, misalnya Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). “Biarkan profesional yang mengisinya. Dengan begitu masyarakat akan merasa nyaman,” kata pengamat hukum tatanegara, Saldi Isra dalam diskusi “Perlukah Pemisahan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan” bersama Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Tohari dan Pimpinan Kelompok DPD, Mahany Victor Polypua di Jakarta, Selasa,(9/10).
Bukan hanya itu, sambung Saldi lagi, orang partai juga harus bisa menahan diri agar tidak lagi duduk di lembaga-lembaga tersebut. Apalagi politisi sudah disediakan jabata-jabatan public lainnya. “Toh, politisi sudah disediakan tempat untuk berkarier, bisa menjadi menteri dan presiden,” terangnya.
Lebih jauh Guru Besar FH Universitas Andalas ini mengusulkan agar masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK hanya satu periode saja. Hal ini agar lembaga itu tidak ada ketergantungan pada seseorang. “Sebaiknya memang hanya satu periode saja, ini usulan saya sejak lama, tapi belum mendapat respon,” ucapnya
Selain itu, kata Saldi lagi, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) MK lebih baik dipermanenkan saja, ketimbang pengawasan diberikan kepada Komisi Yudisial (KY). “Permanenkan saja MKH, saya bicara lembaganya, bukan orang-orang yang mengisi di MKH,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR, Hajriyanto Y Tohari menilai pertemuan Presiden SBY dan sejumlah Ketua-Ketua lembaga negara tidak ada dasar konstitusinya. “Itu hanya sekedar forum saja, tidak ada dasar hukumnya. Kalau tidak suka dengan Ketua-Ketua Lembaga, ya bisa saja nanti yang diundang hanya wakil-wakil ketua lembaga negara,” ujarnya sambil menyindir masalah yang sedang menimpa MK.
Dalam pertemuan itu, kata Ketua DPP Partai Golkar ini, sulit membedakan SBY, bertindak sebagai Kepala Negara atau sebagai Kepala Pemerintahan. Sebab kedua jabatan itu sulit untuk dipisahkan dalam sistem presidentil. “Padahal sebutan Kepala Negara dalam konstitusi sudah tidak ada lagi. Ini hanya permainan politik saja,” tegasnya.
Menurut Kandidat Doktor Antropologi ini, sebutan Kepala Negara hanyalah alat untuk menampung kewibawaan atau political reservoar. “Kita inikan bangsa yang abu-abu , dimana istilah Kepala Negara lebih bersifat simbolis atau lambang. Karena itu diperluka seseorang yang sangat berwibawa dan tidak boleh dikritik siapapun,” tambahnya.
Memang harus diakui, katanya, secara de facto saat ini Presiden SBY sebagai Kepala Negara. Namun de jure, hal ini tidak ada sama sekali. “Intinya, terkesan suka-suka saja,” imbuhnya. **cea