Mungkin Ia Bukan Manusia Biasa
detaktangsel.com SOSOK - Ia bukanlah dari keluarga berada, namun pada dirinya terdapat sifat dan sikap yang kaya untuk membantu sesama, yang banyak pihak justru mungkin tidak peduli.
Dalam dirinya mengalir sebuah ketulusan dan tak mau menjadi bahan perbincangan. Meski sesungguhnya, Ia telah melakukan yang tidak semua orang bisa mengembannya.
Ia datang dari tanah seberang, yang nama fam-nya diabadikan dalam sebuah lagu yang sudah banyak orang dendangkan di banyak kesempatan, Situmorang.
Padanya tidak ada latar belakang pendidikan yang terkait dengan apa yang sudah Ia kerjakan. Namun, dorongan menjadi pegiat sosial dengan spesialis pembinaan gelandang dan pengemis (gepeng) serta orang terlantar, diantaranya tentang anak yang menjadi korban kejahatan dan kekerasan, membuatnya terus melakukan pengabdian.
"Semua mengalir seperti air, memanusiakan manusia. Banyak pelajaran hidup yang aku dapat," ungkapnya, suatu ketika.
Ia bertutur, awal terjun sebagai pegiat sosial ketika Ia mengendarai sepeda motor di sebuah jalan raya dekat SMP 177 Jakarta Selatan, tahun 2003 lalu. Saat itu, Ia melihat gelandangan dalam kondisi sakit.
"Waktu itu, aku melihat air mata seorang anak yang ibunya sedang sakit. Mereka tidak berani membawanya ke rumah sakit karena tidak punya uang," paparnya.
Dijelaskannya, pada waktu itu, yang Ia tahu ada program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Kemudian,
Ia tawarkan untuk membantu mengarahkan pengurusan Jamkesda tersebut.
"Mereka pun mau, terus dengan modal Bismillah aku melangkah," kenangnya.
Ia pun teringat bahwa Ia sempat mengabaikan mereka, tapi terus kepikiran. Akhirnya Ia sadar, kalau bukan Ia, lalu siapa yang ambil peduli ?
Dorongan kuat hati dan pikirannya pun kemudian membawa gelandangan tersebut ke Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Tanpa disadarinya, kepeduliannya itu menarik perhatian salah seorang petugas di RS Fatmawati, yang kemudian mengajarinya cara mengurus jaminan kesehatan. Dan, sejak itulah, Ia pun memulai kegiatan nya untuk membantu masyarakat miskin yang membutuhkan pendampingan.
"Membantu dan mendampingi gepeng dan orang terlantar mulai tahun 2003 dan masyarakat miskin pada 2010 lalu, akhirnya dari mulut ke mulut, dan Alhamdulillah berhasil," ungkapnya dengan rasa syukur.
Diluar dugaan, apa yang Ia lakukan mendapat dukungan keluarga terdekat. Suami pun tidak mempermasalahkannya, bahkan mendukung penuh atas apa ya Ia kerjakan, meski Ia telah dikaruniai empat anak (satu putra dan tiga putri).
Sejak 2003 menjadi pegiat sosial ini memiliki catatan penting selama melakukan pengabdian.
"Saya bukan aktivis tapi hanya pelaku sosial memanusiakan manusia," tegasnya.
Dalam tulisan yang menjadi filosofinya, Ia mengatakan, kami memberi bukan karena kami kaya.
Kami membantu bukan karena kami hebat,
dan kami pun bukan malaikat.
Yang kami lakukan hanya berbagi.
Berbagi rumah, makanan, dan sedikit wawasan untuk menyelesaikan masalah mereka.
"Kami ini hanya tangan tangan kecil yang bukan apa apa dan bukan siapa siapa.
Kami lakukan ini, karena kami pernah mengalami nasib seperti mereka, PAHIT dan SANGAT PAHIT.
Kita tidak perlu meng-HINA mereka karena mereka sudah HINA.
Kita tidak perlu MENYAKITI mereka karena mereka sudah sakit.
Kami ini hanya teman dan pengganti keluarga mereka yang tersisihkan dan lelah jiwanya. Hari ini aku bersedih, sebab pohon yang rindang tidak lagi bisa untuk berlindung kaum jelata.
Hari ini aku menangis, karena sungai yang jernih pun tidak bisa menghapus dahaga untuk kaum jelata. Hari ini pun aku berduka, karena lantunan puisi kepahlawanan hanya untuk pengantar tidur.
Bahkan, kalam Allah pun hanya untuk dihafalkan. Hari ini aku bersedih, menangis dan berduka untuk mereka yang papa. Allahku, adilkah jika aku hanya berperan sebagai penonton? Bimbing aku, Allahku..," paparnya sambil berdoa.
Ia sangat menyadari tidak ada yang istimewa dalam dirinya. "Masih banyak orang lain. Apa yang aku lakukan tidak sebanding dengan berkah Allah SWT pada kami. Aku malu sama Allah SWT," pungkasnya.