Bulan Madu Partai-Rakyat
detak.co.id - SEKETIKA, SUDAH menjadi rahasia umum, kehadiran partai politik benar-benar terasa hanya pada saat-saat mendekati pemilu. Pada masa-masa itu partai politik menjadi begitu populer di kalangan masyarakat. Sehingga mereka tampil seolah-olah ingin menjadi juruselamat bagi masyarakat yang tertindas.
Begitu pemilu selesai, bulan madu partai politik-rakyat pun usai. Partai politik menarik diri, lalu sibuk menyuarakan kepentingan intern partai atau kelompok elit partai. Partai tiba-tiba menjadi asing lantaran aktivitas dan isu-isu politiknya tidak menyentuh kepentingan masyarakat.
Isu ini menjadi bahan diskusi mingguan bersama Ghozali, pujangga, Badrizah, pendiri LSM Bintang Kejora, pengamat politik Eddy Mangkurat, Buchori, Sigit, Surono, Caplin, Kewenk King Dog-dog, dan Hendrijanti.
"Partai menjadi lupa akan fungsi yang sebenarnya. Fungsi pendidikan politik yang dilakukan partai belum menunjukkan hasil yang signifikan bagi peningkatan kesadaran politik masyarakat," jelas Kewenk.
"Justru partai menuai kritik. Karena partai cenderung mengutamakan kepentingan kekuasaan atau kepentingan para elit partai ketimbang kepentingan untuk memajukan masyarakat, bangsa dan negara."
Ironisnya, pendidikan politik yang kerap dikumandang para elit partai hanya sebuah slogan tak bermakna. Kondisi ini menuntut setiap partai untuk mengoreksi sejauhmana orientasi dan implementasi visi dan misi partai secara konsisten dan terus-menerus.
Ghozali mengamini pendapat Kewenk. Hal ini menarik untuk mengkaji masalah peran partai dalam pendidikan politik masyarakat. Sehingga platform partai harus jelas menyentuh masyarakat. Dan, masyarakat memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang kehidupan politik yang sehat dan demokratis.
Caplin sontak menimpali pandangan Ghozali. Yang pasti, seyogianya partai harus menampilkan diri sebagai agen pencerahan. Partai wajib mengemban peran dan fungsinya, dijalankan secara konsisten. Dengan demikian, akan membawa perubahan pada peningkatan kesadaran politik masyarakat.
"Itulah hakikat kiprah. Namun, kenyataannya partai hanya mementingkan dirinya sendiri. Artinya, partai hanya memberikan pendidikan politik kepada kader-kadernya tanpa mempedulikan fungsi yang sebenarnya, yaitu memberikan pencerahan politik terhadap masyarakat.
"Kerap kali kegembiraan sementara itu lekas lenyap," tambahnya.
"kita membutuhkan pendidikan yang benar. Yang perlu diusahakan sekarang adalah pendidikan!"
Penggalan perdebatan itu membuatku teringat kembali kepada Anton. Sama tapi tidak serupa. Kira-kira demikian pandangan dan pemikiran yang berkembang di diskusi mingguan ini dengan celoteh Anton di Warung Indo Mie Kang Kosasih, beberapa tahun lalu.
Ketika itu, Anton juga menyinggung bahwa partai gagal memberikan pendidikan politik nilai dan membumikan demokrasi substansial. Pendidikan politik yang diberikan justru kian meneguhkan anggapan bahwa politik itu kotor dengan manuver dan affair politik yang selama ini dilakukan politisi partai.
"Pendidikan politik yang diberikan partai tak lebih dari pembodohan masyarakat yang mengatasnamakan rakyat, bangsa, negara. Dus, demokrasi hanya untuk melegitimasi langkah politis mereka dalam meraih kekuasaan pemerintahan," kataku menyitir pendapat Anton.
Di Indonesia fungsi-fungsi partai diatur UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Secara gamblang UU itu mengatakan, partai memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat, perekat persatuan dan kesatuan bangsa, penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi masyarakat, partisipasi politik warga negara, serta melakukan rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan publik.
Buchori mengemukakan bahwa terdapat beberapa pemikiran yang mendukung mulai berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap hubungan antara pendidikan dan politik. Di antaranya ada kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik.
Adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Lalu, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Bahkan, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Dan, pentingnya pendidikan kewarganegaraan.
"Melalui pendidikan dapat menghasilkan pemimpin politik yang berkualitas," papar Buchori.
"Apakah politik harus memasuki wilayah pendidikan untuk menjalankan fungsi dan tujuannya dan juga sebaliknya?" tanya Badrizah.
Di mata Badrizah, pendidikan politik merupakan suatu sarana untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan terencana. Pelaksanaan pendidikan politik harus berpegang teguh pada falsafah dan kepribadian integral dari keseluruhan pembangunan bangsa yang dilaksanakan sesuai dengan landasan yang telah mendasari kehidupan bangsa.
Udara dingin tidak membuatku menggigil sepulang dari mengikuti diskusi mingguan. Aku rebahan di kasur sembari menyaksikan pemberitaan yang ditayangkan stasiun televisi swasta milih capres.
Sejumlah elit partai politik dilaporkan sedang memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi. Wakil Presiden Budiono pun ikut-ikutan dimintai keterangan KPK terkait kasus megakorupsi Bank Century. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak luput pula diisukan kasus lainnya.
Aku mulai ngantuk. Tiba-tiba telepon selularku dihubungi Yanti. Ia mengundang ada pertemuan dengan caleg dari Partai Golkar untuk daerah pemilihan (Dapil) Pamulang Timur, Tangareng Selatan. Namun, Yanti tidak menyebut nama caleg bersangkutan kecuali menyebut acaranya diadakan di rumahnya, Minggu malam.
"Datang ya Man. Aku tunggu kamu."
"So pasti aku datang, Yan."
Hatiku berbunga-bunga. Alam pikiranku bukan terfokus pada acara pertemuan, melainkan aku membayangkan bisa temui Yanti, kekasih hatiku.
"Mantap!"