Darah Pemuda Sulawesi yang Tertumpah di Tanah Serpong, Tangerang Selatan, Gugur Sebagai Kusuma Bangsa

Darah Pemuda Sulawesi yang Tertumpah di Tanah Serpong, Tangerang Selatan, Gugur Sebagai Kusuma Bangsa

detaktangsel.com SOSOK -- Daniel Elias Mogot, atau yang lebih dikenal dengan Mayor Daan Mogot, adalah seorang pemuda kelahiran Manado pada tanggal 28 Desember 1927. Ia merupakan putra terbaik Sulawesi yang akhirnya harus mengakhiri karir militernya pada usia remaja. Saat berlangsungnya negosiasi dengan pihak Jepang untuk melucuti senjata, dia tewas di sebuah gudang penyimpanan senjata Jepang di sebuah kebun karet desa Lengkong, Tangerang Selatan.

Letusan tiba-tiba dari depan posko mengubah suasana menjadi kekacauan. Mayor Daan Mogot bersama tiga perwira dan 34 taruna lainnya gugur sebagai simbol kebanggaan bangsa.

Siapakah Mayor Daan Mogot dan bagaimana awal karir militernya?

Menurut Adrianus Kojongian, sejarawan dan jurnalis asal Sulawesi Utara, ayah Daan bernama Nicolaas Fredrik Mogot, yang juga dikenal sebagai Nico Mogot, sementara ibunya bernama Emilia Inkiriwang. Ayahnya pernah menjabat sebagai Hukum Besar, memimpin sebuah distrik di Amurang dan Ratahan Manado. Pada bulan Juli 1939, Nico terpilih sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat), menggantikan Sam Ratulangi. Saat itu, usia Daan hampir mencapai 11 tahun. Keluarga Mogot kemudian pindah dari Tanah Minahasa ke Jakarta.

Pada tahun 1942, Daan Mogot bergabung dengan resimen Seinen Dojo ketika usianya baru mencapai 15 tahun. Seinen Dojo adalah pasukan paramiliter pribumi yang dibentuk oleh Jepang dan bermarkas di Tangerang. Berkat prestasinya yang luar biasa, pada tahun 1943, ia dipromosikan menjadi Pembantu Instruktur PETA (Pembela Tanah Air) di Bali. Di sana, ia berjumpa dengan Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Bersama dengan 47 orang lainnya, mereka menjalani pelatihan gerilya di bawah bimbingan Kapten Yanagawa.

Setelah menjadi Perwira PETA, bersama dengan Kemal Idris, Zulkifli Lubis, dan beberapa perwira PETA lainnya, mereka mendirikan sekolah untuk melatih calon anggota PETA di Bali. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian menjadi cikal bakal TNI. Dari sinilah ia mendapatkan pangkat Mayor, pada usia yang masih sangat muda, yaitu 16 tahun.

Kemudian, ia bertugas di bawah pimpinan Letnan Kolonel Moeffreni Moe'min, mantan Daidanco PETA dari Daidan I Jakarta. Pasukan ini mengawasi wilayah Karesidenan Jakarta yang bermarkas di Jalan Cilacap No. 5. Daan Mogot dan beberapa perwira ex-PETA lainnya bergabung dengan pasukan ini.

Berbekal pengalaman sebagai pelatih PETA di Bali, pada 18 November 1945, Daan Mogot bersama rekan-rekan perwira menengah TKR lainnya, seperti Kemal Idris, Daan Jachja, dan Taswin, merintis berdirinya Militaire Academie Tangerang (MAT), dan ia ditunjuk sebagai Direktur.

Pada tanggal 24 Januari 1946, Mayor Daan Jahja, Kepala Staf Resimen IV Tangerang, menerima informasi bahwa pasukan Belanda dan KNIL (Tentara Kerajaan Belanda) telah menduduki Parung dan berencana merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong (sementara kemudian diketahui bahwa Parung baru diduduki Belanda bulan Maret 1946). Ancaman ini mengarahkan Resimen IV Tangerang untuk mengambil tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang ditempatkan di Resimen IV Tangerang.

Tanggal 25 Januari 1946, sekitar pukul 14.00, pasukan yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot berangkat, terdiri dari 70 taruna MA Tangerang dan 8 tentara Gurkha. Selain taruna, beberapa perwira lainnya juga turut serta. Mereka tiba di posko perkebunan yang dijadikan gudang penyimpanan logistik perang Jepang. Mayor Daan Mogot mencoba menjelaskan maksud kedatangannya kepada Kapten Abe, tetapi prosesnya terhenti ketika tembakan tiba-tiba terdengar.

Kejadian itu diikuti oleh tembakan dari pos penjagaan yang tersembunyi, mengarahkan tembakan kepada pasukan taruna dan perwira. Mayor Daan Mogot mencoba menghentikan pertempuran, tetapi upayanya tidak berhasil. Dia terluka oleh tembakan dan pada akhirnya gugur dalam pertempuran tersebut.

Akhirnya, 34 taruna dan 3 perwira tewas, sementara 10 taruna terluka berat dan Mayor Wibowo beserta 20 taruna lainnya ditawan oleh pasukan Jepang. Sebagai pengorbanan tulus demi negara tercinta, Mayor Daan Mogot, seorang pemuda tampan, berani, dan berbakat dari Sulawesi, menghembuskan napas terakhirnya di hutan di desa Lengkong Serpong, Tangerang Selatan, pada usia 17 tahun. Ia gugur sebagai Kusuma Bangsa. Semoga ia dan pasukannya mendapatkan tempat yang layak di surga. (red)

Oleh: Agam Pamungkas Lubah

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online