Pilkada Tangsel & DPRD
detaktangsel.com- EDITORIAL, Wacana sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dapat dipastikan kembali seperti semula. Pilkada Gubernur, Bupati, dan Walikota akan dipilih tidak langsung atau diplih DPRD. Kepastian itu terjawab bila RUU Pilkada disahkan DPR menjadi UU.
Indikasi RUU Pilkada ini akan disahkan menjadi UU menguat. Semula PKS menolak Pilkada dipilih dewan, kini berubah. Sebagai angota Koalisi Merah Putih (KMP), PKS menunjukkan perubahan sikap. PKS berbalik mendukung Pilkada dipilih dewan.
Apakah sistem pilkada sedemikian rupa melanggar konstitusi perlu kajian yang sahih. Yang pasti, proses perubahan ini menunjukkan sikap politik partai memberi gambaran ketidakkonsistenan. Atau, bisa ada kesadaran tinggi bahwa pilkada langsung tidak memberikan pendidikan politik bagi rakyat dalam upaya menegakkan demokratisasi.
Jelas, aroma politik uang sangat mengental pada pelaksanaan pilkada langsung. Bahkan, penghamburan dana negara untuk urusan demokrasi di tingkat lokal ini sangat besar. Di samping itu, eskalasi gesekan antarpendukung calon sering terjadi.
Apakah alasan ini menjadi rujukan untuk mengembalikan proses Pilkada Gubernur, Bupati, dan Walikota tidak langsung. Atau, ada kepentingan lain pasca-Pemilu Presiden. Pro-kontra dan perdebatan pun masih mewarnai proses di sidang DPR. Lalu, apakah perubahan sistem pilkada tidak langsung mencerminkan kedaulatan dan aspriratif?
Bila RUU Pilkada telah disahkan, Pilkada Walikota Tangerang Selatan (Tangsel) tidak memberikan masyarakat daerah ini untuk menentukan calon pemimpinnya. Masing-masing konstituen (baca: rakyat) menyampaikan aspirasinya ke partai politik. Kendati demikian, rakyat kehilangan hak pilih atau hak politik untuk menentukan siapa yang menjadi orang nomor satu Tangsel.
Untuk sementara nama-nama yang santer disebut sebagai calon walikota (cawali), antara lain Airin Rachmi Diany (Walikota), Muhamad, Arsyid, Soleh MT, Fauzi Siregar, Intan bin Ismet, dan Benyamin Davnie (Wakil Walikota). Bagaimana mereka menyikapi perubahan sistem pemilihan tersebut. Tentu, yang jelas, penggalangan dukungan tidak lagi mengandalkan rakyat, melainkan partai politik yang punya wakil di dewan.
Apakah proses pilkada tidak langsung bebas dari permainan politik uang? Adahkah jaminan pilkada berlangsung demokratis?
Paling tidak, rakyat atau calon pemilih bebas dari fitnah menerima amplop. Juga tidak ada lagi mobilisasi massa untuk menghadiri kampanye terbuka. Bahkan, politik pencitraan hilang dengan sendirinya.
pertanyaan lainnya, siapkah rakyat menerima perubahan sitem pilkada tersebut? Legitimate calon yang kelak terpilih?
Untuk kali pertama Pilkada Walikota Tangsel akan dilakukan sejak daerah ini memisahkan dari wilayah Kabupaten Tangerang. Ini tentu tantangan bagi Airin Rachmi Diany terpilih kembali bila benar-benar mencalonkan lagi sebagai Walikota. Begitupun Wakil Walikota Benyamin Davnie.
Kiranya, citra kedua sosok ini menduduki peringkat nomor satu dibandingkan calon yang lain. Peta kekuatan pun makin jelas. Kini, antara Airin dan Benyamin tinggal mencari partai sebagai kendaraan politik yang mampu mengondisikan di dewan.