Malah, kata Guru Besar FISIP Unhas ini, intelektual perguruan tinggi itu hanya tergantung dari teks dan buku-buku barat. Penerbitan buku di Indonesia belum mencapai 18.000 judul pertahun (7,11%) dari jumlah penduduk. Beda dengan Korea Selatan yang mencapai 37.000 judul pertahun, India 60.000 pertahun.
Yang lebih menyedihkan, sambungnya, saat ini tidak ada intelektual Indonesia yang kreatif seperti Bung Karno (BK). ” Dia menggali bagaimana Marhaenisme. Secara sinkretisme BK juga membangun dari berbagai ide kreatifnya,” tuturnya.
Selain itu, lanjut Anwar, BK juga pula menggali dasar dan pilar negara yang tidak sama dengan negara lain. “Saya kira belum ada intelektual seperti BK saat ini,” tegasnya.
Oleh karena itu, kata Anwar, agar Indonesia bisa maju, maka kalangan intelektualnya harus berhenti menjadi konsumen ilmu pengetahuan. “Istilahnya, kita ini hanya menjadi broker, atau menjadi konsumen teknologi, karena itu sebaiknya jangan hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan. Intinya, harus menghasilkan ilmu pengetahuan,” terangnya.
Sementara itu, Ketua F-Partai Gerindra, Martin Hutabarat dukungan pemerintah terhadap penetian-penelitian yang dihasilkan anak muda jarang bisa diadopsi. Sehingga hanya menjadi milik dunia pendidikan saja.
Menurut Martin, kualitas pendidikan tidak sebanding dengan kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Padahal tujuan membangun negeri ini, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. “Usaha membangun kualitas pendidikan yang lebih baik tidak dibarengi dengan kesejahteraan ekonomi,” paparnya.
Martin menilai saat ini orang lebih berorientasi mengejar gelar kesarjanaan saja. Oleh karena itu, kita membutuhkan seorang Mendikbud yang kuat gagasan, seperti Daud Yusuf, dia berani melawan paradigma yang kuat saat itu,” pungkasnya. **cea