Kala Asap Selimuti Mata Presiden

Kala Asap Selimuti Mata Presiden

detaktangsel.com RIAU - Seorang gadis kecil terbaring dirumah sakit umum daerah di Riau akibat penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Tubuh kecilnya lesuh tak berdaya dengan bantuan tambahan oksigen. Saat sadar, gadis kecil itu sesekali menanyakan teman-temannya kepada orang tuanya. Tetapi, apalah daya jika teman-temannya pun banyak yang sakit  senasib dengannya. Penyebab sakit kebanyakan anak-anak di Riau tidak lain karna setiap harinya hanya menghirup udara bernama asap.

Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat dari 44.871 orang yang terkena penyakit ISPA, rata-rata mereka ialah orang yang lanjut usia dan anak-anak. Jumlah tersebut diperkirakan akan semakin bertambah mengingat titik api tak kunjung padam dan asap belum juga reda. Sederhananya, udara tidak lagi layak hirup dan ISPA masih akan terus menggerogoti penduduk Riau, Jambi, hingga Kalimantan.

Sesuai hasil uji laboratorium, kualitas udara di daerah tersebut sebenarnya dapat dikatakan tak layak hirup. Sebab, tingkat konsentrasi partikel debu (aerosol) sudah di atas 400 mikrogram per meter kubik. Berdasarkan national ambient air quality standard, angka ini termasuk berbahaya bagi semua populasi yang terpapar. Aerosol dalam udara sudah dinyatakan tak sehat bila mencapai 101-200 mikrogram per meter kubik. Maka dari itu sangat tepat kiranya apabila pemerintah daerah menetapkan tanggap darurat bencana asap di daerahnya masing-masing.

Saat ini, pemerintah memang telah mengupayakan berbagai cara dalam menanggulangi bencana ini. Layaknya di Riau, Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Umum telah dioptimalkan dengan baik. Prasarana seperti pembagian masker terus dilakukan. Tetapi, hal ini sama sekali tidak membantu mengurangi potensi bertambahnya penyakit, mengingat kabut asap tebal masih saja berkeliaran dan dihirup oleh masyarakat Riau.

Permasalahannya ialah hingga hari ini asap belum berlalu dan korban terus semakin bertambah. Artinya, apa yang telah diupayakan pemerintah saat ini belum dapat dikatakan optimal. Maka dari itu,  dibutuhkan kebijakan dimana Pemerintah pusat yakni presiden dapat secara langsung membantu masyarakatnya. Sebab rakyat yang terkena kabut asap sangat bergantung dari kebijakan dan tindakan cepat presiden. Kebijakan itu tidak lain tidak bukan ialah menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional.

Memang, presiden RI baru beberapa kali menetapkan bencana sebagai bencana nasional salah satunya yakni saat terjadinya tsunami Aceh 2004. Saat itu korban bencana lebih dari 200 ribu jiwa serta kerugian lebih dari Rp 49 triliun. Tetapi, miris tentunya apabila presiden memilih menunggu korban serta kerugian sebanyak itu kemudian baru menetapkan kabut asap sebagai bencana nasional. Dalam hal ini, presiden sebagai harapan masyarakat jangan sampai ikut-ikutan tertutupi jarak pandangnya oleh asap.

Sebab, jika durasi waktu kabut asap terus berkepanjangan maka bencana itu dapat saja dikatakan lebih berbahaya dari tsunami. Kabut asap dan kebakaran hutan merupakan bencana yang ancamannya menyerang dan membunuh masyarakat secara perlahan. Berbeda hal-nya dengan tsunami aceh, saat ancaman yang melanda hilang pemerintah “hanya” tinggal menanggulangi dampaknya saja.

Artinya, meski jumlah korban dan kerugian “tak sebanyak” tsunami, presiden harus membuka mata dengan menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. Sebab pemerintah tidak bisa hanya fokus menanggulangi kabut asap semata. Pemerintah juga sekaligus harus mengatasi dampak korban secara terus-menerus. Jika tidak, maka bisa jadi kerugian serta korban jiwa akan melebihi jumlah bencana tsunami aceh.


By : Dedy Ibmar
*Penulis adalah Aktifis HMI Ciputat, penggiat kajian PIUSH serta anggota Serumpun Mahasiswa Riau (SEMARI)

Go to top

Copyright © 2013  Detak Group. All rights reserved.

Support by pamulang online