Tubuhku segar. Pikiranku plong, karena kepenatan yang kurasakan seusai ngobrol dengan Suprapto hilang. Rasa kangen Yanti tetap melekat di hati.
Kubuka jendela kamar. Jam dinding menunjukkan pukul 07.11. Aku kesiangan, sehingga aku tidak menunaikan salat Subuh. Entah aku tidur atau tertidur karena kelelahan. Padahal tergolong belum malam benar Suprapto meninggalkanku sendirian di kamar. Kira-kira usai adzan Isya, aku akhiri ngobrol dengan Suparapto.
Aku tidak bergegas ambil handuk dan pergi mandi, melainkan mencaplok gemblong, jajan pasar yang terbuat dari beras ketan yang dilumuri gula merah.
Pikiranku terus melayang membayangkan Yanti. Namun, aku enggak punya keberanian memulai untuk menghubungiya.
"Sumpah mampus, aku mencintaimu, Yan!"
Kunyalakan televisi untuk menyaksikan program di salah satu televisi swasta. Tema yang diperbincangkan soal kredibilitas dan citra partai politik di mata masyarakat menyusul sejumlah elit diduga terlibat kasus megakorupsi Hambalang serta kasus korupsi lainnya.
Mengawali perbincangan, presenter memaparkan kesetiaan pemilih pada partai politik dipekirakan mengalami penurunan drastis pada Pemilu 2014. Sekitar 20% pemilih yang tak memilih partai politiknya. Kecenderungan ini, karena partai politik mengalami proses deinstitusionalisasi.
Sebagai contoh, presenter tersebut melaporkan, PKS dan Partai Demokrat mengalami degradasi. Begitu pula yang terjadi pada Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Sepanjang pascareformasi, sejumlah partai politik mengalami proses presidensialisasi dan dikendalikan pada satu orang saja.
"Langkah presidensialisasi partai politik dalam gejala ini sebenarnya juga menguntungkan dalam jangka pendek. Misalnya, partai semakin solid. Namun tidak sejalan dengan proses.
Lebih jauh dikatakan ada dua kelemahan partai politik. Yakni soal citra dan elektabilitas figur. Di mana partai politik akan terseok-seok saat citranya jatuh. Sehingga harus mencari figur guna mendongkrak elektabilitas.
"Partai politik dalam kategori lemah."
Aku iseng sms Sang Pujangga, Ghozali. Selain beritahu acara di televisi swasta ini menarik dan perlu disimak, aku tanya Ghozali punya duit.
"Zal punya duit enggal ente. Ane sama sekali kosong melompong nih."
"Ada Cuma 100 ribu. Datang ke rumah, ambil."
"Ya, aku cari pinjaman sepeda motor dulu."
Sementara perbincangan antara pengamat dan dua fungsionaris masing-masing dari PKS dan Partai Demokrat seru dan memanas. PKS menuding KPK tebang pilih cara menangani dugaan kasus korupsi. Giliran Presiden PKS terlibat dugaan kasus impor sapi, KPK bergerak cepat melakukan penanganan. Padahal ada petinggi partai lain diduga terlibat kasus Century dan megakorupsi Hambalang. Namun, belum ditangani secara hukum.
"Isu kasus impor daging sapi sengaja dibesar-besarkan dan di-blow up. Maksudnya adalah untuk menjatuhkan citra dan elektabilitas PKS. Ini jelas ada upaya politisasi kasus impor daging sapi."
Fungsionaris PKS ini merasa kesal dan kecewa terhadap kinerja KPK. Bahkan, dia menyalahkan media.
"PKS benar-benar didzolimi!."
Sementara fungsionaris Partai Demokrat saat menyampaikan pendapatnya penuh emosi dan berapi-api. Ia meminta semua pihak agar berpijak pada asas tidak bersalah sebelum ada keputusan hukum tetap.
"Partai kami ibarat perahu yang sudah retak. Kami taat dan patuh hukum. Itu pesan Ketua Dewan Pembina yang juga presiden, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Beliau meminta kami untuk menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan dugaan kasus korupsi yang melibatkan anggota partai kami."
Anggota atau pengurus Partai Demokrat yang merasa terlibat kasus proyek Hambang diminta sadar ini agar mengundurkan dari keanggotaan atau kepengurusan partai.
"Daripada diturunkan lebih baik mengundurkan diri."
Kasus Century, Hambalang, daging impor, dan SKK Migas telah merebak hingga menjadi isu nasional. Karena belum tuntas penyelesaian hukumnya membuat rakyat menilai ada kelemahan saat menegakan hukum bagi koruptor.
Aku tidak lagi bergairah mengikuti acara debat antarpolitisi itu. Benar pendapat sosiolog UGM Arie Sujito. Mereka sangat lantang menyerang sana-sini. Berteriak-teriak menyalahkan pihak lain. Ibarat pribahasa mengatakan, gajah di kelopak mata tidak kelihatan. Tetapi kuman di seberang lautan tampak.
"Menyebalkan enggak pernah selesai. Semua pandai retorika!"
Kumatikan tv ukuran 14 inc. Kutenggak secangkir kopi pahit sambil nyalakan lap top. Aku buka media online detaktangsel.com. HL-nya tentang biaya kampaye caleg.
Lead-nya dimulai dengan melaporkan kalangan politisi memrediksi biaya kampanye caleg DPR untuk Pemilu 2014 diprediksi naik sekitar 1,5 kali biaya yang dikeluarkan pada Pemilu 2009. Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung secara gamblang mengutak-atik angka anggaran buat kampanye.
"Tahun depan biaya kampanye seorang caleg akan naik rata-rata satu setengah kali lipat."
Saat itu Pramono Anung meluncurkan buku berjudul Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi. Pada promosi bukunya, Pram sengaja membeberkan hasil analisanya menyoal perkiraan biaya kampanye yang dikeluarkan seorang calon anggota DPR terkecil antara Rp300 juta dan paling besar Rp6 miliar.
"Biaya paling kecil tersebut dikeluarkan oleh mereka yang punya modal sosial tinggi seperti artis dan aktivis."
Sambil membandingkan biaya paling besar akan dikeluarkan oleh mereka dari kelompok pengusaha yang modal sosialnya rendah. Dengan asumsi rata-rata biaya kampanye pada 2009 mencapai Rp3,3 miliar. Maka, diperkirakan biaya itu akan mencapai Rp4,5 miliar pada tahun depan.
Pramono juga menemukan ada pengusaha yang mengeluarkan uang hingga Rp22 miliar untuk meraih kursi di Senayan. Ada pula konsultan yang mengatakan ada anggota DPR yang menyewa konsultan saja sudah keluar Rp 18 miliar.
Yang jelas, fenomena mahalnya biaya kampanye tidak lepas dari sistem pemilu proporsional terbuka yang membuat seorang caleg tidak saja bersaing dengan caleg dari partai lain. Namun juga berhadapan dengan caleg sesama partai sendiri.
Selain mengeluarkan biaya spanduk, konsumsi untuk konstituen, tidak jarang seorang caleg juga menghabsikan banyak anggaran untuk biaya transportasi untuk dirinya sendiri dan konstituen yang akan ditemuinya.
Kalangan kapitalis ternyata melebarkan sayap ke jagat politik. Bahkan, mencengkram sendi-sendi demokrasi. Sungguh sangat tidak mengherankan kawula alit benar sekadar kuda tunggangan elit politik. Mereka bersedia menyalurkan aspirasinya asal dibayar.
Dunia kampus juga mulai terjadi proses pembukaman. Kalangan aktivis sulit digerakkan, apalagi mengadakan pergerakan seperti aktivis mahasiswa Angkatan 66, 74, 78, dan Orde Reformasi. Padahal mereka tampak idealis memperjuangkan Tritura (tiga tuntutan rakyat), besar kemungkinan tampil sebagai 'pemain bayaran' dan mendapat beking secara politis maupun keamanan.
Aku pikir-pikir setiap gerakan pasti ada 'sponsor' tunggal dan multinasional. Siapa user, operator, logistik, dan koordinator. Semua sistemik, terorganisir, dan terprogram.
Beda-beda tipislah antara aktivis dulu dan sekarang. Karena di balik mereka ada kekuatan besar yang menjadi backing dan memberi garansi politik. Hanya aktivis idealis yang enggak takut lapar dan miskin secara ekonomis.
Isu ini menyeret pakar komunikasi politik Effendi Ghazali ikut buka suara. Makanya, saran Effendi Ghazali salah satu cara untuk menghemat biaya kampanye adalah memberlakukan sistem pemilu proporsional. Selain menghemat biaya kampanye, juga perlu dilakukan pemilu serentak.
"Dengan dua langkah itu saya mempemperkirakan akan terjadi penghematan biaya sebesar Rp6 triliun."
Dengan asumsi peserta pemilu 12 partai, maka setiap parpol bisa mendapatkan dana Rp500 miliar kalau uang yang bisa dihemat itu diberikan ke partai politik peserta pemilu.
Aduh! Kondisi Indonesia makin ruwet dan semrawut. Keberadaan partai politik bukan membuat korupsi makin surut, malah makin menjadi-jadi. Karena itu partai politik harus berani bertanggung jawab atas maraknya kasus korupsi yang selama ini terjadi. Inilah bisa menjadi indikasi bila partai politik masih digerakkan pola-pola permodalan atau kapitalis, pasti zona merah korupsi akan terus terjadi.
Aku unduh semua pandangan yang berbau korupsi di detaktangsel.com. Ternyata praktik korupsi di daerah pun sudah sangat mengkhawatirkan.
"Mata kita makin terbelalak, ketika ada kasus sengketa pilkada yang kemudian berujung pada penangkapan Ketua MK Akil Mochtar. Artinya, peluang korupsi di daerah besar sekali."
Aku yakin setelah menganalis semua pemberitaan. Aku pelajari dan bandingkan. Kemudian aku diskusikan dengan Cak Bambang. Kuhubungi di telepon selulernya. Alhamdulillah, Cak Bambang sendiri yang menerima.
"Cak kok begini jadinya ya negara kita, pemimpin kita, dan elit-elit partai politik yang ada di sekitar kita."
"Maksud Dik Arman apa. Yang jelas dan tegas ungkapin masalah."
"Semua praktik korupsi kok kebanyakan melibatkan pemimpin-pemimpin negara kita. Elit-elit partai politik. Kok enggak bisa dipercaya bisa membangun dan membawa nama besar Negara Indonesia."
"Udahlah, Dik Arman enggak perlu ikut menyoal masalah tersebut. Itu adalah kesalahan Ibu Pertiwi, kenapa meninggalkan warisan tanah babad Nusantara nan subur. Ya subur sumber daya alamnya. Ya subur melahirkan anak bangsa yang berwatak maling, bajingan, dan perampok. Bahkan, mulai meng-klonning manusia berjiwa mafia dan profesor narkoba."
"Kok kebangetan ya mereka makan dan buang kotoran di negerinya sendiri."
"Dik, enggak perlu mumet. Enggak perlu ikut edan meski enggak keduman bagian dari hasil merampok harta kekayaan negara."
"Oh ya, aku mumpung inget. Dik Arman jangan sesatkan pikiran gara-gara perilaku elit politik dan birokrasi yang berwatak sontoloyo itu lho."
Dialog dengan Cak Bambang berakhir karena low bat telepon genggamku. Aku ngedumel sendiri. Mondar mandir, keluar masuk kamar. Enggak tahu apa yang mau kukerjakan.
Bersih-bersih kamar udah. Ngempani ayam bangkok dan ketawa rampung. Halaman rumah enggak ada kotoran ayam berceceran. Rontokan daun kering mangga Indramayu cuma selembar empat lembar.
Sungguh bingung! Mau ke rumah teman enggak punya ongkos. Sementara rokok hanya tinggal sebatang.
"Man, Kang Arman!"
Tetangga sebelah, Aseng, juragan kos-kosan memanggilku. Mau nyampiri males. Enggak nyampiri enggak enak. Namanya tamu sama dengan rejeki. Kalau enggak ditemui, aku takut rejeki dari Allah kabur nanti.
"Ya Seng, sebentar. Aku pakai celana dulu."
"Maaf ganggu. Yo ikut makan siang. Mau elu makan di mana. Nasi Padang atau ayam bakar."
"Terserah, Aseng!"
Pria keturunan etnis Tionghoa ini supel bergaul. Juga blak-blakan dan apa adanya cara ngomongnya. Aku suka itu.
Akhirnya makan di warung masakan khas Padang. Aku pesan rendang, begedel, dan es teh manis.
"Nambah nasi, Man."
"Iya."
Aku sangat bersyukur atas rejeki halal yang dikirim Allah melalui 'mediator' Aseng. Itulah kebesaran Allah kepada umat-NYA.
"Kamsia, Seng."
"Sama-sama."
Oh ya Allah. Coba penghuni negeri ini berwatak sosial seperti Aseng, hamba yakin tidak ada koruptor getanyangan. Di instansi pemerintahan, dewan, kelurahan, kecamatan, dan kantor polisi. Juga negeri bebas dari praktik pungutan liar (pungli) dari kalangan preman, LSM, ormas, dan organisasi liar.
Beginilah jadinya negeri ini sepanjang perilaku elit politik dan partai politik tidak mampu melahirkan kebijakan publik yang prorakyat. Semua serba uang. Mau pipis bayar, apalagi ngurus KTP.